Mau Berjalan?

 

Halo apa kabar? Sudah lama tidak mengunjungi rumah ini. Iya rumah, meski sekadar singgah. Singgah karena sedang bersuka atau luka yang tiba-tiba ada. Manusiawi bukan, manusia akan mencari tempat  berteduh, saat tak mungkin lagi untuk secara nyata berujar aduh.

 

Aku merasa sedang baik-baik saja, amat baik. Bahkan, jika dibandingkan dengan sebelumnya; saat ini adalah saat-saat aku merasa baik­­­--salah satunya. Jika boleh berjalan, mungkin saat ini aku sudah berjalan dan berdiri di tempat yang lumayan jauh. Iya, jauh tapi tidak pergi. Tetap di sini, dan tetap menunggu.

 

Entah hal apa atau siapa yang sedang aku  tunggu, sejauh ini aku tidak tahu. Aku tetap seperti biasa, berusaha menjadi sosok dewasa dan melogikan semuanya. Pun, kakiku tetap baik-baik saja; meski berdiri menjadi rutinitas yang tak berhenti. Aku berdiri, entah untuk menunggu atau untuk pergi tanpa tuju. Aku berdiri, memastikan bahwa aku takkan jatuh; jatuh untuk hal-hal yang tak seharusnya.

 

Boleh aku bertanya? Harus selama apa aku berdiri di sini? Harus sejauh apa aku  menatap lalu-lalang sekitar yang kian ramai? Jika kau berujar harus harus berjalan, apakah aku harus berjalan meski jembatan di depan sana terputus di pertengahan? Beritahu aku?

 

Aku sedang berdiri, pada satu titik yang aku pikir tak mungkin aku dapat berjalan ke sana; meski ingin. Bagaimana bisa aku melewati jembatan yang ujungnya saja aku ragu akan sampai. Ah, naif sekali. Iya, aku rasa inginku hanya angan; meski bisa diusahakan. Boleh aku berhenti? Aku ingin berhenti, tapi tak ingin kehilangan. Aku ingin berhenti tapi tak ingin mundur atau memutar arah. Aku ingin berhenti, sebab aku tak bisa menjelaskan pada lisan-lisan yang menilaiku tidak-tidak. Aku; ingin lebih bisa memijakkan kakiku lebih tegas; menapak meski akan  terdepak, mungkin.

 

Beberapa hal aku bisa memaklumi lebih banyak bahkan aku bisa menggeser egoku untuk tak menomorsatukan rasa atau hal lainnya. Tidak untuk kali ini. Aku benci mendapat rasa kasihan pada hal yang sebenarnya tak demikian. Aku benci ketika dianggap terlalu remeh, pada hal yang sebenarnya sedang biasa-biasa saja. Aku benci dihakimi, jika tak mengenali. Ingin rasanya aku merendah dan  menyatakan bahwa aku bukan apa-apa, nyatanya tidak. Egoku merasa muak, sisi lain diriku menguap dan merasa ini adalah titik yang menjijikan. Hahaha lucu sekali, tempramentalku sama sekali masih ada, meski aku sudah jauh-jauh menguburnya.

 

Aku sama sekali tidak sedang bersedih. Aku hanya sedang bosan; berdiri. Aku bosan di titik maju tak sanggup, mundur pun tak ingin. Abu-abu kini aku. Aku ingin maju tanpa salah, pun jika harus mundur tak ingin sesal terkerah. Ah, tak tahu. Aku sedang berada di ujung tebing, tanpa melompat dan  tanpa membalikan badan.

 

Tak apa, yakinku semua akan tetap baik-baik. Entah aku  yang tetap baik atau inginku yang semakin baik. Cukup positif bukan kepalaku? Heh, aku mendengus remeh sekarang. Satu hal, bagaimana perasaanku saat ini, aku akan tetap bernapas. Sebab, berjalan  maju atau berbelok membutuhkan tenaga lebih-lebih.

 

Jika saat ini aku sedang duduk di pasir pantai, maka kubiarkan ombak menyerangku berulang-ulang. Sebab, manusia memang harus basah berkali; agar bisa berpikir mana yang harus dilalui.

Komentar