Maaf Aku Mau Pulang
Apa
sudah takdir yang namanya pelangi selalu indah . . .
Apakah tak ada yang dapat mengalahkan
indahnya pelangi . . .
Walau hanya menjadi bait-bait irama kala gerimis yang menyambut
hujan. . . .
Malam ini aku bergurau bersama
bintang, di ujung balkon yang di dingin.
Aku bercerita tentang indahnya pelangi, tentang indahnya aurora-aurora
di dalam cerita, tentang dinginnya butiran air hujan yang jatuh tepat di atas wajah. Ah, mungkin aku
terlalu berkhayal. Tak pernah dapat ku lihat bagaimana butiran air hujan itu
jatuh. Tak pernah pula ku nikmati indahnya pelangi.
“Uti, kamu sedang apa di situ ?” Suara mamah
mengagetkan lamunanku.
“Nggak apa Mah, Uti lagi nyari udara segar aja kok.”
Saut Uti sambil berjalan lirih ke arah Mamahnya.
Tangan lembut Mamah terasa
menggapai tubuh mungil ini, seketika Mamah memelukku .
“Besok kita ke dokter Azril ya Ti, udah lama kita tidak cek up “
“Hemm.. perasaan baru seminggu lalu kita ketemu
dokter Azril deh mah.” Protesku seraya memasang wajah cemberut.
“Mamah tahu Uti capek, tapi Uti harus sabar.” Nasihat
mamah yang seketika itu memampah aku untuk memasuki kamar.
J J J
“
Hana Arthadinanto silakan masuk!” Suara suster
memberitahukan bahwa nomor antrianku
lah yang harus memasuki ruangan dokter.
Mamah memapahku memasuki
ruangan dokter Azril. Tak banyak kegiatan asing yang kulakukan di dalam sana. Hanya seperti itu
dan itu saja. Tapi kali ini ada yang berbeda dari doker Azril maupun Mamah. Di
pojokan kursi ku lihat mereka berbincang tampak serius. Sudahlah itu urusan
mereka yang aku pikirkan adalah bagaimana aku tetap bisa membuat untaian senyum
pada orangtuaku.
“Uti ke mobil duluan aja ya, Mamah masih ada
keperluan sambil ngambil hasil cek up
Uti, sebentar lagi pak Udin ke sini.”
Aku hanya menghela nafas.
Seketika pak Udin datang , Ia lalu memapahku dan mengajakku pulang.
Aku nikmati perjalanan pulang. Sengaja jendela mobil tak ku tutup rapat agar
aku dapat merasakan sapaan angin. Terbayang tentang sebuah mimpi, ya setiap
orang memiliki mimpi. Mimpi yang mungkin sedikit konyol. Aku hanya ingin membuat orang tuaku bangga dan memdapatkan
sebuah keberartian dari karyaku dan kenanganku.
J J J
Senyuman melati kini sedikit berbicara. . .
Menatap harajuku yang tak berbuih. . .
Mentaripun turut berkata . . .
Aku pasti bisa. . . .
Hari ini aku tak berniat kemanapun. Hanya mencari inspirasi yang mungkin bisa membuat aku semakin
bersemangat. Kamar ini kelak menjadi saksi
bisu bagaimana perjuanganku. Ah, aku tak boleh menyerah, aku tak boleh kalah
oleh rasa ini. Perjuanganku tinggal sedikit dan aku yakin dengan keputusan ini.
“Non ? Non Hana ? Non ini ada telepon dari kawan
Non..” Suara Bik Darsih mengagetkanku
“Iya Bik, terimakasih ya.” Ucapku seraya menggapai
telepon yang katanya dari seorang kawan.
Ku terima telepon dari
Arian, iya dia sosok lamaku. Aku mengenalnya ketika aku masih menjadi sosok
yang kuat. Sosok Hana yang mungkin tak
ada bedanya dengan remaja-remaja lainnya.
Tapi aku tak boleh lemah, tekadku sudah bulat. Percakapanku dengan
Arian mungkin menjadi inti dari cerita
hidupku. Sebentar lagi semua akan berubah, iya aku harap orang tuaku menjadi
bangga walaupun kemungkinan dengan awal yang sedih.
Sore ini hujan turun, aku
menyelesaikan tulisanku yang bisa dibilang hampir selesai. Inspirasi yang kudapat
dari dinginnya angin yang menyapa
melalui sela-sela ventilasi membuat aku semakin ingin mempercepat untuk
menyelesaikannya. Ada yang aneh dengan bagian atas bibirku. Semakin lama
semakin terasa keanehan itu. Ku sentuh perlahan antara bibir atas dan hidungku.
Basah, seketika aku berteriak ketakutan.
“Mamah….. Mah …. Mah …” teriaku ketakuatan sambil
menghentakkan tongkat yang kupegang hingga membuat gaduh isi kamarku.
Dari arah luar terdengar suara langkah kaki menuju kamarku.
“Uti kenapa ? Ya ampun kamu mimisan lagi.” Ujar Mamah
sambil memapahku ke tempat tidur dan menyeka darah yang keluar dari hidungku.
Melihat ekspresi Mamah aku
hanya terkulai lemas. Sebenarnya aku sudah lemas dengan semua keadaan ini.
Wajah Arian langsung terbayang di benakku saat ini, dia adalah orang yang suatu
saat nanti menjadi penyelaras kedua orang tuaku atas semua keputusanku.
“Nanti sore kita ke doker Azril ya Ti, Mamah sudah
telepon Papah supaya jangan pulang terlalu sore.” Ucap Mamah sembari menyiapkan
pakaian untuk nanti sore.
Aku hanya tersenyum kecil
mendengar pekarkataan Mamah. Saat ini tugasku hanya menuruti permintaan dan
kemauan orangtuaku.
J J J
Senja melukiskan bayangan purnama. . . .
Alunan jangkrik menyapa mata kucing yang bersayap. . .
Gulita menyampaikan sebuah pesan. . . .
Aku ingin pulang. . .
“Tit .. Tit .. tit … tit.” Suara mesin EKG (Electro Kardio Graf ) menjadi penghias ruangan kamarku. Entah apa
yang terjadi dan sebenarnya terlalu cepat. Akupun tak dapat mengetahui mengapa
malam ini aku sudah berada dalam ruangan yang tidak lagi asing untukku. Iya tak
terasa sudah 1 minggu aku tak sadarkan diri. Bahkan sampai sekarang akupun
belum sadar dari kondisi komaku. Masih teringat jelas terakhir aku dan Mamah
baru akan pergi cek up sore hari
tetapi semua berubah. Perlahan ku buku mata dan hanya bayangan Arian yang ada disamping tempat tidurku. Ku
gerakan jari-jariku perlahan. Mencoba menggapai kepala Arian. Seketika Arian terbangun.
“Kamu udah sadar
Ti? Aku hubungi orang tua kamu ya.” Ujar Arian yang menatapku erat.
Aku tak menjawab
pertanyaan dari Arian. Seketika tanganku menahan tangan Arian. Aku tak ingin dia
menghubungi orangtuaku. Seketika Arian menoleh dan menatapku penuh makna. Aku
tahu Ia mengerti apa yang ku maksud. Iya, ini adalah sebuah perjanjian.
Perjanjian antara aku dengan Arian. Sebuah perjanjian konyol yang mungki saja
sangat membuat orang tuaku sakit. Tapi, ini adalah salah satu jalan yang
menurutku baik. Awalnya Arian menolaknya,
namun aku bersikukuh dengan alasanku.
“Kamu yakin dengan keputusanmu ini?” Tanya Arian
dengan nada ragu.
“Semua akan baik-baik saja. Tuhan pasti sudah
merencanakan semua ini, termasuk penyakitku dan kehadiranmu.” Jawabku lirih.
Pernyataanku
mengisyaratkan Arian untuk pergi. Iya, Ia keluar untuk menemui dokter Azril.
Hati ini hanya dapat berbisik kecil agar semua yang Aku rencanakan berjalan
lancar.
J J J
Balutan ufuk timur menghanyutkan. . . .
Rintihan-rintihan merpati bersenandung ria. . . .
Rindu. . . .
Waktu yang tak mungkin kembali. . . .
Pagi ini mungkin menjadi
pagi yang suatu saat nanti aku rindukan. Arian sudah menemaniku sebelum aku
terbangun. Aku menikmati detik demi detik waktu yang berjalan. Sebelum pukul
11.00 WIB mungkin Arian masih bisa
menikmati senyum sunyiku.
“Kamu harus mulai bisa mengikhlasakan aku mulai
sekarang.”
Arian tak menjawab
pertanyaanku. Kucoba meraih mencari
seulas bibir yang kuharap mengeluarkan jawaban. Tetapi, tak sengaja aku
merasakan dinginnya air yang berada tepat diujung matanya.
“Kamu menangis?” Tanya ku.
Arian tak menjawab
pertanyaanku. Kurasakan dekapan hangat dari tubuh Arian sebagai tanda Ia amat
menyayangiku. Aku tahu mungkin ini berat bagi Arian, tapi ini adalah sebuah
kenyataan yang harus terjadi.
Tepat pukul 11.00 WIB aku
berbaring di kereta dorong, memejamkan mata, menggegam tangan Arian dan memberikan senyum terakhirku untuknya. Di
depan pintu ruang operasi kurasakan kecupan hangat tepat di keningku serta
tetesan air yang mengenai pipiku.
J J J
Hitam . . . .
Payung-payung hitam . . .
Kacamata hitam . . .
Langit kelabu hitam . . .
Gagak hitampun turut berdiam . . .
Pekat airmata dan sedikit rasa bangga. . .
Aku megenali rumah itu.
Rumah yang pernah menjadi kisah atas semua kenanganku. Mamah, Papah, Abang Sandy,
Bik Darsih, Pak Udin dan sosok yang selalu menjadi pemilik rinduku, Arian.
Wajah Mamah yang biasanya ceria kini tampak lebih murung. Mereka menatap tubuh
kakuku dengan sendu. Aku tak ingin kalian bersedih. Aku ingin kalian lebih
kuat, lebih kuat dari apa yang aku rasakan saat ini.
“Tante, ini ada titipan dari Uti Hana.” Kata Arian
sambil menyerahkan sebuah kotak.
Tanpa berkata apapun,
Mamah menerima kotak itu. Dipeluknya erat tubuh Arian yang sudah mulai lemah.Iya,
kotak itu berisi sebuah karyaku. Novel sederhana yang kuciptakan sendiri dengan
huruf braile. Aku ingin memotivasi agar semua orang di luar sana yang tak
mampu melihat indahnya pelangi juga dapat berkarya. Sebuah kisah yang kutulis
dalam novel, dari awal hidupku dan kebutaanku, penyakit gagal jantung yang
menyerangku membuat aku berpikir diakhir hidupku aku mengikhlaskan hatiku untuk tetap hidup diraga yang berbeda.
Pelangi. . .
Disini, aku telah jelas merasakan. . .
Goresan-goresan keserasian warna . . .
Butiran air awan yang jatuh
tepat sebelumnya. . .
J J J
“lo nangis kenapa key?” tanya Neyza mengagetkan
Keysa.
“Gua baru baca cerpen dimajalah, gilaaa sedih banget.
Pokoknya lo harus baca dan gua yakin lo bakal galau hahaha..” Kata Nezya
“Gua bakal galau karena baca itu cerpen key ?” tanya
Nezya yang tampak tak percaya.
“iya gk lah, lo galau karena mikirin Rian yang tebar
pesona diluar sana hahaha”
Jawaban Keysa langsung
disambut gelak tawa didalam kamar yang
seketika itu Mamah Keysa menegur mereka dari luar kamar.
“Key, ini sudah malam. Kamu dan Nezya harus tidur
besok sekolah.”
J J J
Bandar
lampung, 11 November 2013
Goresan Tinta : Tika febi Astuti
©Copyright 2013
Sedih sekali saat saya membaca ceritanya
BalasHapus