![]() |
(Sumber Gambar: Linedeco.com) |
Kupikir kesan dan kenyataan akan berjalan beriringan. Nyatanya tidak. Tidak semulus yang dibayangkan. Jangankan ada, sedangkan hal itu malah menjadi yang semakin tak dikenal. Menjadi asing, menjadi perlahan yang kian tersamar. Baru saja aku hendak membuat sebuah uraian frasa tentang bagaimana kita, tapi belum kutulis mengharuskan aku menutup, tanpa tulisan, sedikitpun. Lekas kuletakkan buku itu, dibarisan paling belakang, ditumpukan paling bawah. Iya, semua itu agar tak ada yang bisa membaca, bukan maksudku bisa membuka. Karena memang terlihat kosong, tanpa ada apa-apa, seperti yang orang lihat.
Hari ini, hari di mana empat tahun sekali, menyapamu. Cukup istimewa, tapi tidak kita. Hah, kita. Tidak ada kata kita, yang ada hanya kami. Aku, kamu, dan dia. Seharusnya memang tak pernah ada, tak penah mengetahui, dan tak pernah merasa ingin tahu. Tapi kita terjebak di temaram sebuah keadaan. Keadaan yang selalu merindukan hangatnya tirai alam. Bukan, aku salah. Bukan aku, kamu, dan dia, ini keterjebakan aku, sendiri. Dan aku menyaksikan kalian, perlahan, menghilang.
Entahlah, tak pernah sadar perihal cikal yang kian membesar, dan kian tak tahu ujungnya bagaimana. Bukan, bukan tak berujung tapi ketidaksiapan melihat hasilnya, aku sendiri. Setiap hal pasti ada konsekuensinya. Pun begitu, perihal kau. Ah, bodoh, pertahan ini tak cukup kuat. Bahkan aku hanya membatasinya dengan kaca. Iya menyarhat tetap terjenguk. Dan ketika kaca itu hancur, percikan tetap melukai, tapi tidak seperih perihal hati.
Kau akan berujar, "sejak awal kau sudah tahu bagaimana kita bukan." Aku mengangguk dan menggigit lidahku sendiri, agar kelu ini tak lantas terjamak oleh matamu. Aku bahkan tak mempunyai nyali untuk menatapmu, menatap masa depan dia, di matamu. Hah! Aku lemah sangat lemah tapi tetap dengan senyum anggun yang menandakan aku akan baik-baik saja. Bahkan kertas acara resepsi itu tak kubuka sama sekali. Hanya kupandangi, lekat, dalam, dan berlinang di ujung ekor mataku.
Setiap hari, selama tiga puluh hari, aku tak henti menguraian rasa melalui frasa berbalut acara menulis surat cinta. Berharap engkau di mana pun tetap membaca. Nyatanya tidak. Kau justru tengah menyiapkan semuanya, segalanya. Acara penting kalian, bukan aku. Masih nyata, awal tahun yang lalu.Kau berujar malu perihal rancangan masa depanmu, tanpa dia dan juga bukan aku, iya masih abu-abu. Aku menanggapi dengan antusiasku, kau paham. Setiap ceritamu aku orang pertama yang akan menjadi manusia paling tak bisa bicara perlahan dengan ala "kereta api". "Jadi rencana sudah matang belum tahu siapa yang pendampingnya?" Kau terlihat menggelitik dengan segala macam pertanyaan yang ingin tahu itu.
Semua sudah terlewati, kini kau hadir dengan senyum meyakinkan bahwa kau akan bahagia, dengan dia. Dia yang selama ini kau tanggapi sebatas mimpi. Dia yang kau cerita tak akan bisa. Hah. Aku bahagia, mimpimu sukses, rencanamu sempurna. Aku sudah bertekat pergi, bahkan tak ingin tahu kabarmu lagi, salah bukan kamu tapi kalian. "Tapi ini acara penting aku, kamu harus datang, kamu sahabat aku, orang paling utama di hidupku." Tangannya mencekal aku yang hendak acuh. Matanya, aku kembali merasa lemah. Tak bisa menolak. "Jika aku paling utama kenapa kau dengan dia."
Hingga aku lekas mengakhiri percakapan dalam hati. Aku sudah bulat, tak ingin terperangkap. "Tiket ke tanah jawa sudah kupesan, nanti malam aku pergi, tenang aku mendoakan semoga lancar. Salah kau, tak beritahu aku terlebih dahulu tentang pernikanahmu. Aku baik-baik saja, percayalah. Cepat kau beri aku ponakan lucu." perkataan itu tak lantas membuatnya diam, banyak, banyak alasan yang diujarkan. Tentang dia tak mau aku sakit hati, dia tak mau aku kecewa, dan dia tak mau aku terluka. Kuakhiri percakapan ini dengan sebuah kecupan. Kecupan terakhir yang mendarat hangat di kening yang lebar dan dia merasakan tetesan hangat tepat mengenai matanya.
Aku pergi, dengan sebuah amplop di tangan. Amplop berwarna pink dan bertemakan hujan. Amplop pernikahan kalian.
Karena cinta tak tahu akan berakhir bagaimana jika keduanya tak saling membuka rasa. Jika hanya diam, tak akan ada yang paham. Semua butuh pengutaraan dan perjuangan, dengan hasil yang akan tuhan berikan.
Jika bukan jodoh, kita bisa apa.
.........................................................
Aku dirimu dirinya tak akan pernah mengerti tentang suratan... (Kahitna: Aku Dirimu Dirinya)
To be continued ...
Penasaran dengan lanjutannya
BalasHapusSudah ada lanjutannya kok.
HapusTerimakasih sudah membaca :)
yaaahhh bersaambung
BalasHapusokesip ditunggu kelanjutannya yak
Iya cerita berkelanjutan.
HapusSudah ada lanjutannya.
Terimakasih bersedia membaca :)
Aaakkk sediihh yaa... berharap si cowo bakal cepet ngerti perasaan cewenya...
BalasHapusLanjutkan yaa...
aaaaakkkk, yang nulis aja ikut sedih liat cowo gk peka gitu :D
Hapussudah ada terusan ceritanya lho di postingan sesudah ini :)