Perihal Langit




Seperti biasa, hari ini aku menghabiskan siang hari dengan duduk di beranda rumah. Entah apa yang aku lakukan, hal ini menjadi sebuah rutinitas setiap kali aku merasa senggang. Di beranda rumah, iya sambil menikmati secangkir teh tubruk dengan gula yang tak terlalu manis. Menikmati angin bersautan dengan daun yang merespon secara perlahan dan pergerakan manusia di sekitar yang tiada hentinya. Tak luput dari perhatianku, menatap langit. Bahkan aku tak pernah bosan, menginterpretasi langit dari segala sisinya dan segala waktunya. Ketika langit sedang diberikan cahaya matahari di ufuk timur. Ketika langit sedang cerah secerah-cerahnya. Ketika langit sedang sedang bermain dengan kumpulan-kumpulan awan yang perlahan beriringan, menghilang. Ketika langit dihampiri oleh mendung, kemudian hujan lalu pelangi berhiaskan. Ketika langit cantik oleh senja yang berpulang. Bahkan ketika langit nampak indah dengan tarian bintang dan sinar bulan kala temerap menantang.

Semua begitu sempurna, dan aku percaya Tuhan telah mendisain sedemikian rupa agar manusia menikmati dan bersyukur atas semua yang diciptakan-Nya.



Ketika langit di pagi hari, dan aku melihatnya lantas hal yang pertama aku lakukan adalah bersyukur. Bersyukur aku bisa kembali terbangun dari sebuah istirahat. Cahaya kuning yang memancar di balik langit, menyilaukan tapi tetap indah. Berpadu dengan suara burung, suara ayam, dan suara aktivitas manusia untuk segera kembali pada rutinitasnya. Tapi apa setiap pagi kita bisa menyaksikan indah langit dengan warna khasnya? Tentu tidak. Ada kalanya kita tak mampu menyaksikan. Entah karena kita tak displin ketika bangun pagi, atau karena kita sedang tak punya kekuatan untuk beranjak dari tempat tidur, atau justru keindahan itu sedang terhalang, oleh apapun itu. Sama seperti hidup. Terkadang kita melakukan dan menikmati hal yamg menurut kita baik, menurut kita indah, dan kita suka. Tapi apa kita bisa konsisten, atau jusrtu terkadang luput lalu menenyesal. Iya semua pilihan.



Ketika langit sedang cerah biru secerah-cerahnya. Aku mulai berpikir, langit terlihat kosong. Langit terlihat hampa, bahkan sesekali aku berpikir bahwa langit terlihat kesepian. Tapi semua tak benar. Itu hanya fatamorgana yang kita lihat  secara telanjang. Mana mungkin kosong, itu secara tiba-tiba menepis semua anggapanku. Ada banyak hal di atas sana. Ada galaksi, ada bintang, ada planet, dan benda-benda lainnya. Semua tak lantas terlihat begitu saja, makanya langit terlihat kosong. Sama seperti hidup. Kita tidak bisa menilai seseorang secara kilat. Semua hanya sampul, semua hanya dari sisi penglihatan kita. Tentu, ada hal yang tidak bisa kita nilai hanya dengan mata. Kita butuh telinga, kita butuh hidung, kita butuh tangan, kaki, dan kita butuh pendalaman. Sekali lagi, kita tak bisa melihat sesuatu hanya dari sisi kita.



Ketika langit biru sedang banyak awan yang menari, perlahan, berganti, dan menghilang. Aku lantas teringat tentang seseorang dalam sebuah kehidupan, manusia. Banyak, banyak sekali, silih berganti siapapun datang pergi dari kehidupan kita. Ada yang bertahan tapi perlahan sibuk dengan segala urusan pribadinya. Ada yang datang hanya dengan keperluan lalu menghilang. Ada yang menyapa, menceritakan perihal rasa dan berganti luka menjadi air mata. Semua sudah ceritanya.



Ketika langit dihampiri oleh segumpalan hitam kemudian berubah menjadi hujan dan tak lama kau akan melihat pelangi. Semua aku ibaratkan seperti kehidupan tentang masalah. Masalah yang ada, yang menyapa, bahkan terkadang membuat kita putus asa. Mendung, sama halnya sebuah masalah, cobaan, ujian, bahkan hal tang membuat kita lelah. Tapi apakah masalah tercipta tanpa solusi? Tentu tidak. Solusi diibaratkan adalah hujan. Hujan yang tercipta setelah mendung ada. Hujan, sebuah berkah yang sebenarnya adalah hal yang tidak merugikan jika lingkungan dipelihara secara baik. Setelah mendung dan hujan kemudian ada pelangi. Iya sama seperti hidup. Ketika ada masalah lalu kita menemukan sebuah solusi tentu kita akan bahagia, merasa lega dan merasa semua telah baik-baik saja (kembali). Tapi tidak setiap hujan lalu ada pelangi. Iya karena setiap penyelesaian tak melulu perihal kebahagian. Tapi selepas hujan pasti ada pelegaan. Lega dan bahagia tak bermakna sama. Seperti itu.



Ketika langit berwana jingga, karena mentari kembali ke peraduan adalah sebuah pemandangan yang pasti menarik semua kalangan. Bahkan tak sedikit yang mengabadikan dengan teknologi mutahir. Dari sebuah senja aku belajar, bahwa sejauh, selelah, seapapun kita pasti akan berpulang. Manusia yang seharian beraktivitas, kembali ke rumah. Hewan yang sedari pagi merumput kembali ke  kandang. Burung yang telahbjauh terbang kembali ke sangkar, bersama anak-anaknya. Dan yang terakhir manusia, pasti akan berpulang, ketika masanya sudah habis dan kontraknya telah selesai.



Saat gelap, tugas matahari kembali rehat. Langit menampilkan sisi lain. Sisi yang tak menampakan birunya yang menenangkan. Berganti, hitam, tetapi bercahaya, oleh bintang. Setiap kali terjadi pemadam listrik, aku menikmati hiasan alam yang memberikan terang-benderang di balik hitam. Langit malam mengajarkan aku banyak hal. Perihal gelap yang bersinar, oleh bintang. Mungkin terkadang kita merasa hidup kita gelap, hampa, tanpa ada cahaya satupun. Namun kita terkadang pula lupa, ada cahaya yang menyinari hati kita, cahaya tuhan, cahaya yang seharusnya kita manfaatkan. Tapi apa? Kita lebih suka mengeluh. Kita lebih suka mencaci. Bahkan tak menghargai apapun siapapun yang disejeliling kita. Oleh langit malam, kita harus belajar. Bahwa gelap tak bararti menderita. Ada bintang, ada bulan, bahkan ada senyuman yang tak kita rasakan.


Semua bisa kita pelajari, dari langit. Langit yang selalu memperhatikan kita. Ketika sedih, senang, bahagia, luka, bahkan ketika ketika kita menangis di bawah hujan. Bersyukurlah terhadap apa yang kita miliki sekarang, jangan mudah merasa puas, dan janganlah menjadi pribadi yang sombong. Karena langit tak pernah sombong walaupun dia tinggi dan tak ada yang mampu menggapainya.

Aku, pencinta langit dan pecandu hujan.

Bandarlampung, 06 Maret 2016.

Komentar

  1. Perihal langit, yang terlihat mendung namun hujan tak kunjung turun. Menatapnya dengan nanar, seolah mengharapkan datangnya hujan. Hujan dengan deras, datang dan jatuh dengan keras. Mengguyuri tiap jiwa yang kering, dan mengharapkan tumbuhnya suatu harapan yang baru. Harapan yang baru, cinta yang baru, dan tentu hidup yang tak sebatas ini itu...

    BalasHapus
  2. Karena mendung tak selamanya berkabung.

    Ada rindu pada langit yang kelabu.

    Ada harapan di balik awan yang menghitam.

    Apapun, semesta pasti merestui, jika diri ingin berlari,lagi.

    *ini ngomongin apa*

    Btw makasih fhan!

    BalasHapus

Posting Komentar