![]() |
(Sumber Gambar: Linedeco.com) |
Sudah pukul 15.05 WIB tetapi Gantan belum juga menunjukan batang hidungnya. Jika tidak dia yang memohon-mohon untuk ditemani ngopi sore ini, mungkin aku enggan meninggalkan setumpul pekerjaan yang harus diselesaikan. Bayangan wajah boss yang siap memakannya hidup-hidup melayang dipikiranku jika perkerjaan itu tak kuselesaikan dengan segera. Gantan memang sudah menabiatkan predikat mister ngaret sejak zaman kuliah dulu. Kutekan tombol panggilan tapi tak ada suara Gantan yang menyambutnya. "Heh, maaf nay!" Gantan yang tiba-tiba muncul dengan keringat yang membuatnya terlihat lusuh. Serta rambut yang sudah tak karuan lagi bentuknya. Dengan nafas tersengal-sengal Gantan meminum air mineral tanpa permisi. Satu botol habis dalam waktu tak sampai satu menit.
"Aku tadi abis dari toko buku terus macet, maaf ya telat Nay." ucap Gantan dengan nada memelas. Aku sama sekali tak menjawab pernyataan Gantan. Aku justru mengacuhkan Gantan dan sibuk mencari sesuatu dari dalam tas. "Nih lap dulu keringetnya, bau dih kamu udah berapa hari gak mandi sih Tan." sambil menyodorkan saputangan berwarna pink. Seketika Gantan mengusap keringat yang sedari tadi tak berhenti mengucur. Gantan melepas kacamata dan mengelapnya dengan kain khusus. Kemudian ia mengenakannya kembali seraya tersenyum manis, "Kalo kaya gini udah ganteng belum Nay". Melihat tingkah Gantan aku hanya bercakap dalam hati, bocah berumur 26 tahun ini tak mencerminkan usianya. Ia tetap saja seperti Gantan yang dikenalnya sejak 8 tahun lalu. Gantan yang manja dan sama sekali tidak terlihat jika sedang mengalami masalah sedikitpun.
Sudah sejam Gantan dan Nay berada di salah satu cafe ternama di kota Bandarlampung. Waktu selama itu hanya digunakan untuk mengobrol ngalor-ngidul tanpa kejelasan. Entahlah, Gantan tumbuh menjadi pribadi periang yang dengan sangat mudah menyembunyikan perasaannya. Tetapi Nay, dapat dengan mudah menebak apa yang sedang terjadi dengan Gantan.
"Kamu kenapa Tan? Ada yang kamu sembunyikan? Ayo, jangan bohong kamu gak akan bisa bohong sama aku Tan." Mendengar ucapan itu Gantan seketika terdiam. Ia menjadi orang dengan beku tanpa ekspresi. Aku sudah paham dengan tabiat Gantan jika ia ada masalah. Jika tidak ditanya Gantan memang enggan berterusterang. "Aku bingung Nay, Ayahku kekeh mau jodohin aku. Sedangkan wanita itu bukan tipeku. Aku gak mungkin suka sama dia Nay." Gantan terlihat lesu menjelaskan semua yang sedang dihadapinya. Aku mendengar hal tersebut langsung memeluk sahabat yang sedang ruwet tersebut. "Kamu gak mau coba dulu Tan. Ini pilihan orangtuamu lho."
"Aku gak mungkin suka sama wanita berpenapilan glamor gitu Nay. Kamu paham lah aku bagaimana."
"Kamu kenapa Tan? Ada yang kamu sembunyikan? Ayo, jangan bohong kamu gak akan bisa bohong sama aku Tan." Mendengar ucapan itu Gantan seketika terdiam. Ia menjadi orang dengan beku tanpa ekspresi. Aku sudah paham dengan tabiat Gantan jika ia ada masalah. Jika tidak ditanya Gantan memang enggan berterusterang. "Aku bingung Nay, Ayahku kekeh mau jodohin aku. Sedangkan wanita itu bukan tipeku. Aku gak mungkin suka sama dia Nay." Gantan terlihat lesu menjelaskan semua yang sedang dihadapinya. Aku mendengar hal tersebut langsung memeluk sahabat yang sedang ruwet tersebut. "Kamu gak mau coba dulu Tan. Ini pilihan orangtuamu lho."
"Aku gak mungkin suka sama wanita berpenapilan glamor gitu Nay. Kamu paham lah aku bagaimana."
Iya, Gantan memang berbeda dengan laki-laki seusianya. Ia tidak tertarik dengan wanita yang menggunakan pakaian terlalu wah. Bahkan, ia lebih tertarik dengan wanita sederhana yang bisa menemaninya mengobrol lalu ke toko buku atau ngebolang. Yang jelas Gantan tidak suka dengan wanita yang hobi ngemall atau menemani ke salon. Sejak sudah bekerja, orang tua Gantan sering mendesak Gantan untuk segera menikah. Hal itu karena Gantan tidak pernah membawa wanita ke rumahnya kecuali aku, sahabatnya. Isu LGBT yang sedang marak membuat orangtua Gantan uring-uringan ingin lekas mencarikan jodoh untuk anak tersayangnya.
Tak banyak nasihat yang aku berikan kepada Gantan. Gantan hanya membutuhkan telinga yang siap mendengar keluhan-keluhan bukan bibir yang banyak berucap. Sesekali aku memberi joke agar Gantan mengeluarkan suara tawa renyahnya. Tak banyak yang tahu, di balik pribadi kaku Gantan sebenarnya ia adalah orang yang humoris. Humoris dengan orang-orang tertentu saja.
"Makasih Nay udah mau nebelin kuping buat dengerin ocehan aku yang gak jelas hari ini." Aku tak menjawab pernyataan Gantan. Cukup tersenyum dan sesekali mencubit lengannya untuk mendengar teriakan kesakitan yang menurutku terlalu unyu diteriakan dari lelaki seusianya. Waktu sudah menunjukan pukul 17.30 WIB, aku memutuskan untuk lekas kembali ke rumah untuk menyelesaikan tugas yang siap menerkam jika tidak dirampungkan.
Ketika kita sedang berada pada situasi sulit sesungguhnya yang dibutuhkan pertama ialah bukan nasihat yang luar biasa hebat tetapi telingan yang siap mendengar lebih lama tentang apa yang kita rasakan. Jika mendapatkan jalan keluar itu bonus yang diberikan.
Karena masalah ada tanpa tak ada jalan keluarnya.
..................................................................................
Bersamamu kuhabiskan waktu.
Senang bisa mengenal dirimu.
Rasanya semua begitu sempurna.
Sayang untuk mengakhirinya (Ipang: Sahabat Kecil)
Senang bisa mengenal dirimu.
Rasanya semua begitu sempurna.
Sayang untuk mengakhirinya (Ipang: Sahabat Kecil)
To be continued ...
Beruntung ya punya sahabat yang bisa enak diajak ngobrol, curhat-curhatan bareng gitu wkwk
BalasHapusTapi yang namanya sahabat emang udah semestinya ngedukung terus :)
Sahabat memang meski mendukung. Tapi kalo sahabatnya lawan jenis harus pandai mengontrol perasaan :D
BalasHapus