![]() |
(Sumber Gambar: Linedeco.com) |
Kata orang berada di atas ketinggian adalah hal yang menyenangkan. Tetapi tidak dengan yang aku rasakan, sekarang. Rasanya seperti terbang, tanpa tujuan, dan tentunya tanpa kamu. Aku adalah orang bodoh yang tak pernah berani untuk mengutarakan apa yang aku rasakan. Diam dan kau tak paham mungkin sudah menjadi takdir. Takdir yang aku terima dan sama sekali tak ada pergerakan untuk mengubahnya. Kalian mungkin sekarang berpikir aku pengecut? Atau aku pencundang? Atau justru aku keduanya. Menghela nafas dengan berbagai percakapan dalam hati.
Entah apalah keputusan aku untuk pergi ke Yogya adalah keputusan yang benar. Aku melarikan diri, kata itu yang pantas aku sandang ini. Tak cukup keberanian untuk menyaksikan pernikahan Gantan bulan depan. Padahal pekerjaan di Yogya hanya dua minggu. Seharusnya aku bisa pulang. Tapi aku memilih tetap di Yogya, bahkan menetap untuk beberapa waktu yang tak tahu kapan berakhirnya. Pesawat akan mendarat sekitar lima belas menit lagi, tetapi aku belum menghubungi bude perihal kedatanganku. Ah, ini akan menjadi kejutan untul beliau, setelah lima tahun tak berjumpa.
Amplop berwana pink dan bertemakan hujan masih saja aku bolak-balik. Memandang sebuah nama yang tertera pada amplop tersebut. Andai aku memiliki keberanian pasti aku tak menerima amplop ini, justru namaku yang terterah. Ah. Aku sudah terlalu jauh berkhayal. Aku tak mau diperbodoh oleh khayalan yang aku perbuat sendiri. Bahkan aku sudah tak menyimpan nomor Gantan. Kupatahkan sim card setelah aku terakhir menemuinya, di cafe tempat kami biasa berjumpa. Menghilang, mungkin cara terbaik. Melupakanmu, mungkin keputusan terberat, untuk aku.
Aku belum menghubungi orangtuaku kalau Gantan bulan depan menikah. Rasanya bahagia, memiliki orang tua yang fleksibel dalam menentukan masa depan. Kakakku sudah menikah tiga tahun lalu, dan sejak itu orangtua belum meminta aku untuk segera mencari pendamping. Betapa terkejutnya mereka, jika sampai tahu Gantan menikah, bukan denganku. Keakraban kami sering disalah artikan oleh kakakku, begitupun orangtuaku. Aku harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan keluargaku jika berita pernikahan Gantan sampai di telinga mereka.
"Bude aku udah di bandara, aku ke rumah setelah dari alun-alun."
Sebuah pesan aku kirimkan untuk bude agar dia tak terlalu terkejut. Bude Endang adalah kerabat mamah yang ada di Yogya. Semenjak menikah dengan papah, mamah memutuskan untuk tinggal di Bandarlampung, kota kelahiran papah.
Sebelum ke rumah bude, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke sekitar Alun-Alun Yogyakarta. Ingatanku kembali terbang ke empat tahun silam. Aku dan Gantan pernah ke Yogyakarta untuk sebuah proyek di kantor kami yang pernah bekerja sama. Menikmati mobil warna-warni sambil memakan jagung bakar dengan tawa Gantan yang khas. Bahkan kami pernah melakukan tindakan konyol dengan melewati beringin yang memiliki mitos tersebut. Aku dan Gantan berhasil melewatinya. Aku sempat berpikir jika aku dan Gantan jodoh karena berhasil melewati beringin tersebut berdua.
Sungguh melelahkan. Lelah kaki tak sebanding dengan lelah hati yang dengan bodoh melepas orang yang kita cintai. Tapi tekatku bulat. Hijrah ke Yogya untuk melupakan Gantan, perlahan.
"Kamu dimana Nay? Jadi pergi ke Yogya. Jangan dong, aku udah siapin kebaya buat kamu di hari pernikahan aku. Kamu harus jadi saksi peristiwa penting seumur hidupku ini Nay. Pliiss kamu pulang. Masa kamu lebih mentingin kerjaan dibanding aku Nay! Jangan kaya gini lah, aku gak mau kehilangan kamu, sahabatku."
Hujan jatuh, dari ekor mata seorang wanita, aku. Pesan yang aku dapatkan bukan dari massage personal melainkan dari sosial media. Aku lupa tak memblokir Gantan. Berkali aku menghela nafas dan menstabilkan emosiku. Aku tidak mau membuat bude curiga karena kedatanganku kesini bukan semata-mata karena kerjaan. Lebih karena Gantan, dan pernikahannya.
Menyakitkan ketika meninggalkan orang yang kita sayangi. Lebih menyakitkan orang tersebut tak tahu tentang sebuah rasa yang kita simpan, simpan, dan simpan. Bila diibaratkan sebuah bom , mungkin seharusnya aku sudah meledak. Tetapi tidak, aku berusaha menjadi Nay yang nampak bahagia, di mata Gantan.
Aku pamit, meski sesak ini menghimpit.
...............................................................................
Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu
(Tulus: Pamit)
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu
(Tulus: Pamit)
To be continued ...
Pedih banget nay, kapan sih Gantan bisa bener-bener ngerti perasaan lo *sinetron banget*
BalasHapusLanjutin, gue suka nih ceritanya :)
Yaampun sinetron :D ini bukan anak jalanan lho hahha ..
HapusTerimakasih apresiasinya :)