Sebuah Surat Jawaban (IV)

(Sumber Gambar: Linedeco.com)


Sudah sampai halaman ke-250 aku menyantap alinea demi alinea frasa dari novel karya penulis yang sedang naik daun. Tapi aku masih enggan menghubungi Gantan yang sekarang ada di mana. Sejak semalam aku memikirkan apa yang sedang dialami sahabatnya tersebut. Status galau yang dituliskannya sama sekali tidak mencerminkan bahwa itu Gantan. "Anak ini sedikit aneh beberapa hari ini", pikirku dalam hati. Tak ada waktu yang jelas tentang pertemuan kali ini, tapi aku telah mengatakan bahwa aku menunggu Gantan sedari pukul tiga sore hinga menjelang magrib.

Ini tahun kesekian aku mengenal Gantan, dan kali ini Gantan nampak berbeda. Dia terlihat lebih aktif di sosial media. Bahkan berkali dia nampak berbalas komentar dengan wanita yang bernama Ralinka, calon pacarnya. Ralinka adalah wanita yang selama ini digasang-gadang akan menjadi istrinya. Awalnya Gantan menolak tapi semakin hari mereka terlihat semakin akrab. 

Samar-sama aku melihat gestur tubuh Gantan di ujung toko dekat cafe biasa kami bertemu. Menggunakan kemeja putih lengan pendek dan celana cino serta jam tangan yang tak pernah lupa ia kenakan. Dari kejauhan Gantan sudah melambaikan tangannya. Aku membalasnya dengan senyum yang aku anggap paling menawan. 

"Tumben rapih banget Tan, mau kemana?" ujarku setelah Gantan duduk dihadapanku.

"Gak kemana-mana, emang salah aku rapi. Bukannya kelihatan makin ganteng yaa." jawab Gantang yang lantas menaikan alisnya dengam senyum jahilnya. Tak tahan melihat ekspresi Gantan lekas aku menepuk lengannya dan dia meringis kesakitan. 

"Udah aku pesenin nih, kopi dengan gula yang berbanding 1:1 dengan kopi, tak lupa gelas berwarna pink." kataku sembari menyodorkan secangkir kopi. Gantan lalu menyeruput kopi tersebut dengan menghirup aromanya terlebih dahulu. Aku lantas menikmati sepotong roti coklat yang menjadi andalan cafe ini. 

"Jadi kamu punya masalah apa Tan, statusmu itu lho buat mataku gatel."

"Masalah serius Nay." ujar Gantan dengan mata memelas.

"Serius gimana? Kamu ada masalah besar. Cerita dong. Aku kepikiran lho." 

"Masalah serius, serius menyukaimu." kata Gantan yang membuat aku tersedak dan berusaha mencari tisu untuk membersihkan coklat di sekitar bibirku. Gantan yang melihat hal itu justru tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu, ketika itu aku merasa kesal dengan tingkah Gantan yang menyebalkan. 

"Apanya yang lucu Tan!" 
"Ya kamu itu lho Nay, aku acting gitu sampe kaget. Actingku jago kan. Aku lagi latihan untuk besok" ujar Gantan dengan santainya. Aku mendengar itu sedikit kaget. Gantan latihan untuk apa. Sejuta pertanyaan mulai bercambang dan tumbuh di setiap sisi otakku.
"Aku pengen nembak Ralinka. Menurutmu gimana? Udah tiga bulan ini ndak apa-apa kan yaa."

"Beneran mau nembak. Hmmm. Ya kalo kamu yakin ndak apa-apa geh Tan. Lebih cepat lebih baik. Tandanya kamu normal." aku menjawab pernyataan Gantan dengam nada santai yang sesungguhnya menutupi letupan kecil emosiku. Pikiranku sudah terlalu jauh. Bahkan aku berpikir Gantan sedang mengalami masalah yang sulit hingga harus bertemu sore ini. Ternyata pertemuan ini hanya untuk latihan untuk menyatakan perasaannya kepada Ralinka esok. Berulang kali aku menghela nafas, mengatur agak tak terlihat emosi di depan Gantan. Bukan, bukan emosi cemburu, tetapi emosi kepada Gantan dengan memajang status gloomy yang membuatnya khawatir setengah mati.

"Makasih lho Nay!" ungkap Gantan yang dibarengi dengan kecupan yang mendarat di pipiku. Rona wajah yang tak dapat kusembunyikan terpancar seketika itu. Hah. Ini bodoh. Gantan memang pandai membuatnya merasa kalah dalam mengontrol perasaannya. Seketika aku lekas menarik telinga Gantan dengan nada sedikit kesal.
"Kamu kok udah mulai nakal semenjak jatuh cinta ya Tan!" 
Mendengar hal itu Gantan justru tertawa dan menyandarkan kepalanya di pundaku. Iya sisi manja Gantan memang sering muncul dan tidak memandang tempat. Aku menyenderkan kepalaku di atas kepalanya sambil menikmati lalu-lalang orang yang ada di lantai satu. Memandang langit yang ketika itu cerah, secerah hati Gantan yang sedang berbunga-bunga. 

"Aku menyayangimu, Nay. Lebih dari yang kamu rasakan. Tetap begini, sahabat yang ada di sisi aku, selalu." 

Aku tersenyum dan tak melepas pandangannya dari langit yang ada dihadapannya. Rasanya aku ingin mengehtikan waktu agar kebersamaannya dengan Gantan tak lekas berakhir. Aku tak dapat melukiskan apa yang sedang aku rasakan sore ini. Bahagia, senang, sedih dan banyak hal lainnya. Iya semua hasil olahan Gantan, sahabatnya. Menunggu eksekusi esok yang akan dilakukan Gantan, menyatakan perasaannya terhadap Ralinka. Wanita pilihan orangtua Gantan. Tanpa sepengetahuan Gantan, aku menggigit bibirku keras-keras agar luapan kesah ini tak lantas terbaca oleh Gantan.

Jika ada banyak hal yang bisa aku lakukan, aku hanya ingin satu hal. Tetap membuatmu bahagia, dengan caraku dan menghasilkan senyum yang kelak, bisa aku ceritakan kepada siapapun di masa depan. Aku dan Gantan.

Karena kami bukan sekedar sahabat. Kami adalah sepasang hati yang tak mungkin terjadi untuk tak berbagi.

..............................................................

Kau sedih aku yang temani menggenggam tanganmu dengan harapan yang berbeda di benakmu. (Kahitna: Kulakukan dengan Cinta)

To be continued ....


(Cerita sebelumnya klik ini)

Komentar

Posting Komentar