Sudah tiga
hari hujan dan saat aku menulis ini langit masih medung dengan ditemani angin
yang tentunya dingin. Setelah setahun aku berhenti menulis, detik ini aku
mencoba untuk menuangkan isi kepalaku lagi. Tak apa jika akan banyak kepala
menilai aku terlalu sendu. Tak ada yang tahu, apakah yang aku tulis benar
kisahku atau hanya telinga yang mendengar lalu kuubah menjadi sebuah runutan
frasa yang sembarangan.
Setahun
ini aku kehilangan beberapa kegiatan yang awalnya adalah bagian rutinitasku. Aku
lupa kapan terakhir membaca buku dengan semangat dan fokus dengan rasa kesal
jika diganggu. Aku lupa kapan menjadi pendengar baik ketika ada seseorang yang
kukenal sedang terserempet masalah. Aku lupa menjadi pribadi yang peduli tanpa
mengharapkan apakah nanti dia akan bisa kembali peduli kepadaku. Aku lupa:
banyak hal. Aku lupa bagaimana cara menyayangi seseoarang.
Rasanya
aku tak ubah seperti benang layangan yang tersangkut pada sebuah pohon. Dia tidak
terjatuh pun tak bisa terbang. Dia terikat pada suatu tempat yang sebenarnya
dia tak mau. Coba kau bayangkan, ketika ada angin benang itu: terombang ambing.
Seberapa lama dia ada di situ, sebegitu lelah dia selesai. Tak ada orang yang
mau mengambil gunting untuk memutuskan sangkutan itu. Semua terlihat mengacuhnya
begitu saja.
Aku ingin bisa berjalan lagi, setelah beberapa lama aku berhenti. Berhenti bukan untuk istirahat; berhenti karena aku tak tahu bagaimana cara berjalan. Bukan, bahkan aku tak tahu cara untuk berdiri. Genggamanku tak kembali, pergi dengan ekspetasi yang aku tak pernah aku sadari.
Ini menyedihkan,
pada bagian di mana aku memang tak pernah menyiapkan tentang kehilangan. Aku terlalu
banyak meyakinkan bahwa memang pergimu nanti tak akan semengejutkan itu. Aku
salah, bahkan kalah. Banyak bagian pikiranku yang tak bisa aku hadapi sendiri. Tiap
tengah malam aku selalu berdebat—dengan diri—memastikan bahwa aku bisa tetap
bertahan dengan pola pikir yang menurutmu aku sungguh kekanakan. Ini semua
seperti rangkaian domino, saling terkait. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak
dari rutinitas kerja pun bersamaan dengan aku menyaksikan kau sudah tak bisa
lagi aku ganggui. Sebersamaan itu. Jangan tanya rasanya.
Tak ada tempat aku berlari, sebagaimana biasanya kau adalah tempatku untuk
menenggelamkan isi kepala. Aku goyah, lelah dan beberapa kali tak punya arah. Yakinku,
kau akan membaca ini. Tak peduli kau akan menilai apa dengan sejuta ceramahmu yang luar biasa. Pintaku,
jangan ada kau beri isyarat bahwa kau tahu tulisan ini, jangan.
Kali
ini kau harus tahu ceritaku. Awal tahun lalu aku memutuskan untuk membuka hati
kembali. Setelah lima tahun aku menutup tanpa memegang kunci. Rasanya aneh. Isi
kepalaku berwujud ribuan ekspetasi. Aku berusaha bisa menyayangi orang lain;
semampuku. Bisa membagi peduliku dan dengan segala berisiknya aku. Aku berusaha.
Tetap saja, benar katamu aku harus banyak belajar agar kelak aku menemukan
cerminan. Pun, mencari sosok yang tak akan menyakitiku lagi. Aku gagal. Entah aku
yang lupa cara menyayangi orang lain atau aku yang lupa bagaimana cara
menyayangi diriku sendiri. Jika kau masih sendiri,
mungkin bulan lalu aku sudah menangis sejadi-jadinya dengan membawa coklat dan
kau akan menemaniku menghabiskan coklat itu. Aku tersenyum saat membayangkan
bagian cerita tentang coklat.
Ini sudah
setahun, sejak aku menyadari bahwa aku tak punya siapa-siapa untuk aku ganggui semenyenangkan kau. Aku sudah berdamai dengan banyak hal. Aku
tersenyum tiap kali kau posting foto
lucu nan mengemaskan itu. Aku ingin bisa berjalan lagi bahkan berlari pun mengejar
semua mimpiku. Aku ingin bisa kembali menjadi pendidik dan memperdulikan banyak
anak-anak. Aku ingin secepatnya menyelesaikan naskah buku. Tak lupa; aku ingin lekas
menemukan seseorang yang kelak bisa berbahagia bersamaku. Aku bisa membuatnya
bahagia pun dia juga. Sebab semua hal
yang ada di bumi akan lebih dapat dimengerti jika ada makna saling yang menghiasi.
Kau tentu
tetap mendoakan aku, bukan? Terima kasih sudah pernah menjadi orang yang
berisiknya aku nanti. Terima kasih sudah menjadi pengingat banyak hal. Pun terutama
perihal Tuhan. Aku tidak akan menyesali apapun. Kini, benang layangan itu sudah
lepas. Tak ada yang melepas, sebab dia lepas dengan sendirinya; oleh waktu. Dia
lepas untuk bebas. Kembali hidup untuk manusia lagi. Jika suatu saat benang itu
kembali tersangkut, semoga tak selama seperti sebelumnya. Harapku, tentu tak
mau terulang.
Terkadang merasa tak memiliki siapa-siapa; adalah cara untuk ingin memiliki hidup lebih lama.
Komentar
Posting Komentar