Ragu; Menggebu

Aku ingin bercerita. Sebentar, ini hanya isi kepala; bukan apa yang dirasa. Sumbernya dari telinga yang suaranya terus berkeluh tak berputus asa.

Hari ini aku menyimpan kesalku sendirian. Entah sudah berapa kali kita memperdebatkan ini. Bukan, bukan kita. Aku sendirian. Bahkan, kalau aku menyebut kita, rasanya kau tak tahu apa yang sebenarnya kita perdebatkan. Iya, aku memahamimu memang. Kamu adalah lelaki dengan peka yang kadang aku sendiri sering bertanya; apa benar rasa sadarmu sekurang itu.

Sebagai perempuan, aku bersikap tak seperti kebanyakan.
Aku tak apa; Kala kau jarang meluangkan waktu,
meski rindu mengganggu kepalaku.
Aku tak apa; Kala kau jarang bercerita,
meski ada banyak tanya di kepala.
Aku tak apa; Kala kau sesekali menghilang,
meski cemasku tak pernah terbang.
Bahkan, aku masih tak apa; Kala kita tak pernah bertemu; kau tak pernah siap untuk maju, dan kau tanya senyata itu.

Aku tertawa kecil, ketika menulis ini.
Rasa apa yang yang menghinggapi diri, hingga aku percaya berkomitmen dengan seseorang yang—tak pernah mau menemuiku. Bodoh memang. Sepercaya itu; aku, semenyepelakan itu; kau.

Ini sudah setahun; dua belas bulan. Aku harus menunggu seberapa lama lagi?
Katamu; semua butuh persiapan. Bagian ini aku sepakat, tapi apa tidak bisa aku merasakan bahwa kau itu nyata; tak sebatas kata dan suara.

Pintaku ingin bertemu, bukan menyuruhmu mengadakan pesta mewah secepat itu.

Sesekali aku ingin seperti orang lain.
Melihatmu tertawa dengan jelas, tak hanya bersuara via telepon dengan sinyal yang kadang mengganggu.
Menyaksikan bermain dengan anak-anak kecil yang sering kau ceritakan.
Aku mau hadir, dalam ceritamu tak tersekat obrolan lewat satelit.

Kita tidak sedang berada dalam jarak. Lalu apa masalahnya? Kau tak menjelaskan. Kau hanya sibuk dengan rutinitasmu, semua kenalanmu; tapi bukan aku.

Aku harus bagaimana?
Aku harus menunggumu selama apa?
Aku harus membiarkan waktu terbuang begitu saja?

Jangan buat aku menyerah, sedang kita sudah sepakat berjalan dua arah. Ini tentang komitmen, nilainya tak pernah main-main. Aku nyaris lelah tapi tak mau begitu saja berserah.

Sebab hati, bisa dijaga sepenting nadi.
Pun, jika kau tak pernah ada niat serius di sini; ucapkan agar aku pergi.


Komentar