Telinga yang Lebih dari Suara

Malam ini aku terpikirkan akan suatu hal. Pernah tidak kau bertanya, mengapa sebagian manusia suka memaksakan diri mengetahui suatu hal. Ini seperti pertanyaan bodoh. Tapi lagi-lagi ini sedikit mengganggu kepalaku. Tak sengaja aku membaca postingan twitter temanku yang membahas bahwa sebagian orang ingin berulah bagaikan pahlawan yang sebenarnya juangnya tak dibutuhkan. Saat kau dirundung masalah atau ada pergumulan yang menggendap di kepala, berapa orang yang siap menasihatimu dengan bijak? Iya bijak versi masing-masing. Tak sepenuhnya salah, memang. Yakinku semua dilandasi dengan niat baik sebab setaip orang berusaha menjadi pihak baik di kepalanya sendiri. Tak sedikit justru apa yang orang lain lisankan justru akan membuat isi kepala semakin ramai.

Kita memang terbiasa untuk peduli, entah dari hati atau sekadar basa-basi. Bahayanya adalah memaksa orang lain untuk menumpahkan isi kepalanya kepada kita. Kau pasti pernah menemui situasi semacam ini, jika tidak; bersyukurlah.

“Ah, masa baru segitu aja lu stress sih.”

“Ah, lu mah nggak pernah berusaha aja kali, masa ngga bisa sih.”

“Dulu gue nggak pernah tuh merasa kaya gitu, lu aja lebay.”

“Gue lebih dari itu kali, udah sih jangan banyak ngeluh. Banyak bersyukur.”

Hahaha
Apakah kalimat-kalimat di atas pernah kalian temui? Tidak, tidak usah terlalu jauh dengan orang lain; dengan teman yang menurutmu dekat. Aku tak tahu, mengapa sebagian orang senang memberi penyelesaian  masalah orang lain dengan membandingkan dengan masalahnya sendiri. Ini mungkin sepele dan ringan. Akan tetapi, barangkali efek yang ditimbulkan tak seringan itu. bagaimana bila, sehabis mendengar komentar itu; orang lain justru semakin terpuruk. Bagaimana bila dia semakin merasa tak berguna karena tak mampu menyelesaikan masalahnya. Pun dengan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Atau; sebagian kita tak pernah memikirkan bagaimana efek dari tindakan yang kita lakukan? Jika iya, ini sungguh menyeramkan.

Banyak hal yang perlu kita sadari; lebih dini.

Menolong orang yang akan tenggelam memang baik, tapi jika kau menolong dengan menyodorkan  sebilah pedang tajam untuk berpegang lantas kau menariknya; kau bisa bayangkan bagaimana sesudahnya. Aku percaya tak ada yang benar-benar jahat perihal menjadi pendengar untuk orang lain. Barangkali yang ada hanya kita tak pandai mengerti; bagaimana memosisikan diri. Sebagian orang berkeluh, tak selamanya untuk nasihat yang utuh. Ada beberapa yang sebenarnya lebih membutuhkan telinga; tanpa cercaan bertubi setelahnya. Kau boleh mengomentari atau memberi afirmasi dengan kesepakatan yang sudah disetujui.

Ini memang lingkaran setan, akan banyak pengulangan tanpa penyelesaian. Selain ini, ada yang tak kalah meresahkan; ketika kau sama sekali tak ingin membagikan keluhan, lantas dipaksakan atas dasar ‘ucapan jangan dipendam’ pun setelah kau bagikan -> kau diacuhkan. Sebab akan ada orang-orang yang sebatas ingin tahu, bukan ingin membantu atau meredakan riuhnya isi kepalamu.

Kita memang dituntut berhati-hati, entah dengan orang lain atau diri sendiri. Tak ada yang lebih kuat; kala kita tetap menjaga napas agar tetap melekat. Pun ketika dunia sedang tidak sehat.

Satu hal, apapun itu; tak ada yang benar-benar jahat, hanya lidah saja yang terkadang kurang bijak.
Ini isi kepalaku, jika tidak setuju; tak melulu harus berseteru. :)  

Komentar