Dua Orang itu Bernama Orangtua

Tulisan hari ini bertemakan orang tua. Hmm. Rasanya aku adalah orang yang paling sulit untuk mengungkapkan cerita perihal dua sosok orang yang amat berarti dalam hidup. Pun, hal itu diperkuat ketika menyadari bahwa aku tak punya saudara kandung seperti orang kebanyakan.

Aku lahir dari pasangan bernama Bapak ***** dan Ibu **** yang menikah 27 tahun silam, lahir dengan usia kehamilan yang prematur. Tumbuh dengan ceria dan berlimpah kasih sayang sebab aku ialah cucu pertama di keluarga Ayah. Keluarga yang hanya setahun sekali aku temui. ah, rindu.



Jika kalian pernah bertemu dengan ayahku pasti hal yang kalian ingat adalah fisik yang sangat aku sekali. Ayahku pria kelahiran Lampung yang memiliki darah keturunan Jawa Timur. Seorang ayah yang lebih pendiam tapi jika berbicara kalian akan bisa membahas banyak hal. Aku adalah anak perempuan yang lumayan dekat dengan ayah. Bahkan jika diberi pertanyaan dengan siapa aku lebih dekat antara ayah atau ibu maka akan kujawab dengan cepat, “Ayah.” Ayah adalah sosok yang berjuang tapi tidak mau memaksakan keadaan. Terlebih ketika kondisi keluarga tak seindah dulu lagi. Perihal ini sudah kuceritakan di tulisan sebelumnya.

Aku mengenal Tuhan melalui ayah. Masih bisa kuingat waktu kukecil dan belajar sholat ayah menggunakan haduk kecil sebagai pengganti sejadah di hadapanku. Ah itu sederhana tapi aku sangat ingat kenangan saat itu.. Ayah yang ketika orang lain berkata tidak baik dia akan membiarkan sebab menurutnya jika tidak benar, maka akan terbuka dengan sendirinya. Ayah yang tiap kali aku bergurau mengeluh kok aku gendut, aku takut matahari nanti hitam, kenapa aku pendek sendiri, dan kok aku jelek nggak kaya artis  maka beliau akan mengeluarkan jurus ceramahnya, “Perempuan itu kalau hanya cantik fisik percuma, hati dan imannya juga harus cantik.” Nasihat ini mungkin terdengar klasik, tapi bagiku itu sangat berarti.

Di lingkungan rumah, ayah dipandang sebagai orang yang lumayan disegani. Pun, di waktu bersamaan justru membuat pundakku terasa sedikit lebih berat. Apalagi, ketika aku keluar rumah tidak berhijab, rasanya mata orang akan menghakimiku lebih-lebih. Apalagi ketika serentet anak kecil yang dijumpai akan berteriak, “Abiiiii.” Ketika melihat ayahku. Aku sedikit benci saat hal itu terjadi. Entah mengapa.

Di usia ini, ayah pernah menasihatiku bahwa carilah lelaki dengan agama yang baik, sebab jika baik agamanya dia akan memperlakukanmu dengan kasih sayang. Fisik itu bisa dipoles tapi hati dan iman itu tentang ketulusan. Ayah juga berujar, jangan takut tidak mendapat rejeki sebab Allah tidak akan membiarkan hambanya kelaparan. Pun, ayah akan marah-marah ketika aku susah bangun sholat subuh “Subuh itu pembuka rejeki, kalau kamu nggak bangun nanti rejekinya hilang.” Maafkan aku ya, jika di belakangmu masih melakukan hal yang sebenarnya itu salah.

 

Ibuku lahir di Lampung sebagai keturunan Yogya dan Sunda. Berperawakan seperti ibu-ibu kebanyakan. Suara yang nyaringnya akan bertambah kuat ketika menyadari anaknya terlalu sibuk untuk rebahan. Rentetat suara tentu akan semakin cepat jika membangunkan anaknya yang sebenarnya masih jam 5 tetapi beliau akan berujar, “Sudah jam 7 matahri udah keluar.” Hahaha pasti ibu kalian juga begitu. Ketika ada yang bertanya, apa sifat ibu yang paling dominan maka akan dengan lantang kujawab, “Keras kepala.” Sepertinya sifat ini adalah sifat turun temurun dari keluarga ibu. Ketika aku perhatikan, nyaris semua dik-beradik keluarga ibu sangat kental dengan sifat keras kepalanya. Ah jangan dibayangkan ketika ada konflik, sungguh berimajinasi saja aku enggan.

Sifat keras kepala inilah yang sebenarnya tak sengaja ikut turun kepadaku, anaknya. Ketika aku sedang batu-batunya dan ibu pun begitu ayah hanya akan menggelengkan kepala melihat itu semua. Tak apa, itu tak senegatif itu. Sifat keras kepala ibu tentu akan mencuat pada kebaikan juga. Ketika dia memiliki niat-niat baik dan itu semua akan terus beliau usahakan. Apalagi ketika sudah menyangkut keluargaku dan keluarga besarnya. Apapun diusahakan sekuat-kuat demi yang menurutnya benar.

Ibu adalah perempuan yang menurut orang-orang pandai memasak. Seperti ibu lainnya, masakan ibu adalah masakan yang kerap dirindukan oleh anaknya saat jarak sedang melekat. Ah, kapan durasi terlama aku berjarak, tentu hanya satu tahun saat aku harus tinggal di asrama saat kuliah dulu.

Aku dan ibu tak memiliki hubungan manis seperti anak dan ibu kebanyakan. Bukan, bukan aku tak akur. Hanya saja kami tak memiliki bahasa cinta yang saling menyentuh. Hubungan kami dan rasa cinta kami terlihat dari perbuatan. Masih jelas teringat ketika tiga bulan aku sakit, ibulah yang pontang-panting mengusahakan obat dengan berbagai jalan. Ah, saat itu syukurku tak henti-henti aku ucapkan memiliki orang tua yang hebat dan cinta yang luar biasa.

Aku adalah anak yang jarang bercerita kepada orangtua terutama ibu. Sebab, ketika aku bercerita aku tak ingin ibu memiliki penilaian negatif dan terprovokasi terhadap subjek yang aku ceritakan. Barangkali, saat aku bercerita itu hanya emosi sesaat pun di waktu bersamaan nama baik yang aku ceritakan sudah tak sebaik itu. Jadi, selama aku masih bisa menangani dengan baik akah kuatasi sendiri.

Dua tiga hari ini ibu kerap mengirimkan sinyal percakapan ke arah yang sebenarnya sudah coba aku sembunyikan. Tema yang itu-itu saja, terdengarnya. Aku hanya diam ketika ibu berulang mengkode masalah itu. Bukan, bukan aku tak menghargai untuk tidak menjawab tetapi aku pun tak memiliki jawaban yang pasti. Aku tahu dan paham, ibu sudah mulai khawatir dan di sisi lain membawa perasaanku pada rasa was-was. Sabar. Anakmu tentu tak diam saja. Anakmu kerap terjaga di malam hari sebab menyadari aku belum melakukan apa-apa untuk keluarga di sisi lain umur memasuki usia untuk lekas berkeluarga. Ah.

Ibu dan ayah memiliki sifat yang sebenarnya tidak ada mirip-miripnya. Ibu dengan omelan  yang jika diuraikan bisa sepanjang jalan antarRajabasa dan Pahoman. Sedangkan ayah yang diamnya akan lebih mudah ditemui. Eh, satu hal aku tak suka melihat ayah marah sebab justru lebih mengerikan daripada ibu yang bersuara. Sifat yang saling melengkapi justru membuat mereka bisa bertahan hingga saat ini.

Saat suatu hari aku mengenalkan lelaki pilihanku—siapapun itu kepada mereka, aku ingin ibu bisa percaya bahwa pilihanku tepat dan ibu tak harus berpikir kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi. Aku tahu beliau begitu karena sangat menyayangiku. Kepada ayah, terima kasih telah menjadi lelaki pertama yang aku cintai. Usahaku lebih-lebih untuk menemukan lelaki yang baiknya seperti yang ayah ucapkan. Lelaki yang dengan agama dia bisa bertanggung jawab ke semua hal. Doakan anak perempuanmu ini lekas bisa membahagiakan pada level yang lain. Bisa kembali menjadi guru yang hebat dan menjadi ibu untuk anak-anaknya yang tak kalah hebat dari ibu.

Maafkan anak perempuanmu yang masih belum baik. Anak perempuan yang masih suka melakukan kesalahan dan kalalaian tanpa kalian tahu sebelumnya. Anak perempuan yang tak sebaik kalian pikirkan. Anak perempuan yang masih memiliki dosa dan berbuat dosa lebih-lebih. Maaf.

Sebab, orang tua adalah rumah pertama; selain suami dan anak-anak yang menjadi rumah selanjutnya. Jika benar rumah, kau harus tahu ke mana harus pulang dari kerasnya hidup tanpa pantang.

Komentar