Kata
orang anak tunggal itu identik dengan sifat manja, tidak mandiri, dan tak mau
mengalah. Aku tertawa setiap mendengar pernyataan itu. Bukan, bukan aku
menyangkal bahwa aku tak memiliki sifat begitu. Hanya saja, rasanya tidak adil
jika sifat manusia langsung dihakimi dari seberapa banyak saudara kandung yang
ia miliki di rumah.
Aku
adalah anak perempuan dari orang tua yang menurutku hebat. Rasanya tak bisa
kujabarkan di sini mengapa aku bisa mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang
hebat. Barangkali, setiap anak mengatakan hal serupa tentang orangtuanya,
kecuali beberapa hal yang tidak terjadi di semua keluarga—mungkin. Lahir sebagai
anak tunggal tak lantas menjadikanku sosok perempuan yang ‘seperti orang banyak
kira’. Beberapa hal dari kepribadianku, yang paling aku tak mengerti adalah
mengapa aku terlahir sebagai orang yang amat sensitif dan berhati lembut. Sesekali
aku ingin sekali menjadi orang lain,
yang tak mudah terhanyut dengan cerita dan kondisi orang lain. Iya, orang lain.
Aku kerap bisa merasakan sedih, ketika melihat sebuah keadaan yang meskinya
tidak perlu ada di dunia ini. Bahkan, aku bisa menangis hanya karena melihat
anak kecil memberi uang kepada pengemis di pinggir jalan. Sayangnya, kita tidak
tinggal di dunia yang ideal. Dunia yang banyak huru-hara perdebatan dan
perselisihan tak masuk di akal.
Menjadi
anak tunggal tentu memberikan efek tertentu walau tidak terlalu berkorelasi. Aku
memiliki sifat keras kepala. Tak bisa kusangkal itu. “Kamu ini atos banget ya.” Ujar ibuku ketika
beliau sudah tak tahu mau berkata apa. Padahal, patut disadari sifat keras
kepalaku tentu warisan beliau. Aku tertawa mengatakan ini. Keras kepala tentu
sepaket dengan ego yang tak kecil. Iya, sadarku lebih-lebih bahwa aku terkadang
tak bisa mengontrol egoku. Tapi, tak
jarang egoku akan dengan sendirinya menurun ketika berhadapan dengan orang yang
aku sayang. Barangkali, untuk mengetahui aku menyayangi seseorang atau
tidak bisa kau lihat dari bagaimana aku menempatkan egoku. Wah, aku membuka
satu kartuku kali ini. Ahahah tak apa. Ego memang terkadang membunuh secara
tidak langsung. Iya, aku terus belajar perihal ini. Masih banyak PR yang perlu
diperbaiki.
Overthinking, kata itu pasti sangat familiar. Aku satu
dari sekian banyak orang yang kerap berpikir lebih-lebih atas sesuatu yang
sebenarnya tak perlu terlalu dirisaukan. Tak terkecuali dengan sifat sensitifku. Aku bisa menghabiskan
isi kepala dengan memikirkan masalah orang lain. Terutama masalah orang-orang
yang sering berkeluh denganku, berbagi cerita dan beban yang mereka rasakan. Meskipun
aku belum tentu bisa memberikan solusi tapi setidaknya bercerita bisa sedikit
merilis emosi mereka. Pun yang tak kalah random
aku bisa memikirkan bagaimana negara ini
tetap bisa berjalan jika diisi dengan orang-orang yang tak pernah memikirkan posisi
orang lain. Pun, aku bisa memikirkan, mengapa ada orang-orang bisa menghakimi
dengan kalimat atau kata-kata yang seharusnya tak pantas dikeluarkan. Lagi-lagi
kita tak tinggal di dunia ideal. Semua serba sepaket; baik dan jahat, putih dan
hitam serta aku dan kau. Eh.
Kata
Rachell, salah satu teman dekatku aku seperti akun instagram Indozone (kau harus tahu). Anak instagram
pasti mengerti maksudnya. Aku memang selalu memperbarui info apa yang harus aku
ketahui per harinya. Entah itu seputar berita atau ilmu. Aku akan cerewet menceritakan apa yang aku baru ketahui kepada
rachell atau Chita. Sudah bisa dibayangkan ekspresi mereka akan tertawa melihat
kebiasaanku itu. Ah, seperti jumawa aku mengatakan ini. Tapi percayalah ketika
kita banyak mengetahui sesuatu (ilmu atau info bukan urusan orang lain) secara
tidak langsung kita akan mudah untuk memulai obrolan dengan orang lain. Iya,
itu sangat aku butuhkan. Sebab, orang pendiam sepertiku membutuhkan itu semua
untuk membuka perbincangan dengan orang baru. Aku tentu bukan pribadi yang bisa berbasa-basi dengan hal yang
sebenarnya tidak penting, misalnya saja “Wah apa kabar, kok makin kurus/gendut.”
Hahaha itu hanya contoh ya.
Kali
ini aku teringat ucapan dapid, “Lu itu ribet.” Aku geleng-geleng kepala
mendengar itu. Biar aku jelaskan yang berisi pembelaan. Sebenarnya itu bukan
ribet tapi memang aku sangat memperhatikan hal-hal kecil dan detail. Sampai, pada
akhirnya memang berakhir merungsingan pikiranku sendiri. Pemerhati yang baik sepaket dengan ribet. Sepertinya itu yang
tepat. Ini berlaku di semua hal.
Terakhir,
yang paling terngiang di kepalaku adalah ucapan Nay dan Zizi secara tidak langsung
mengatakan bahwa aku tertutup. Iya beberapa hal aku memang memiliki kesulitan
untuk bercerita masalah pribadi kepada
orang lain. Rasanya ketika aku ingin berbagi apa yang sedang aku pikirkan itu
terasa berat. Bukan, bukan aku tak mempercayai teman-temanku. Hanya saja, aku
kerap berpikir bahwa menceritakan sesuatu rasanya tak mengubah banyak hal dan
tentu aku tak ingin membebani kepala orang lain dengan ceritaku yang sebenarnya
tidak terlalu penting. Toh, perihal merilis emosi aku tentu memiliki cara
tersendiri untuk menyelesaikannya. Jadi,
jika kau pernah mendengar ceritaku barangkali itu hanya sepotong kecil dari
sebuah kue ulang tahun bertingkat utuh tentang apa yang sedang aku hadapi—tidak
terlalu ‘masalah’.
Masih
banyak hal terkait pribadiku yang tak mungkin dijabarkan semua di sini. Barangkali
jika kau ingin mengetahui lebih mari kita saling berbincang. Aku akan siap
bertukar pikiran tentang segala hal, jangan takut dihakimi sebab berpikiran
terbuka adalah hal yang sudah biasa aku lakukan.
Saat
ini, jika berbicara kepribadian rasanya aku banyak berubah. Tentu tidak semua. Beberapa
hal aku ingin terus bertumbuh menjadi lebih baik. Menjadi pribadi yang tidak
jalan di tempat. Pun, usaha terus kulakukan agar sifat yang tidak baik aku
kurangi hingga nanti hilang. Meski, untuk hilang tidak mungkin. Namanya manusia
tentu tidak ada yang sebegitu ideal. Aku
tetap akan menjadi orang menyebalkan untuk hal yang tak beguna dan menjadi
orang nomor satu berdiri di depan saat kau membutuhkanku. Aku masih menjadi wanita yang amat menyukai
hujan, ombak, langit, musik instrumen klasik, dan menyukai suara tawamu. Percayalah,
aku amat bahagia ketika mendengar suara tawa orang-orang yang kusayangi meski
aku tahu beban di pundak manusia tak lantas hilang hanya karena dia terlihat
tertawa atau gembira. Kuapresiasi usaha aku dan orang-orang yang tetap bertahan
dalam segala situasi, sebab manusia
sejatinya hanya perlu bertahan jika sedang tak sanggup berlari.
Aku
beritahu satu hal. Sudah beberapa bulan semenjak pandemi ini, aku melakukan
beberapa hal dalam hidupku. Aku berusaha menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru
yang sebelumnya tak pernah atau jarang aku lakukan. Aku merusaha agar hidupku
teratur. Hasilnya, sungguh mencengangkan. Aku sangat mengapresiasi dan bangga
pada diriku sendiri. Tentu tak akan kuberitahu kebiasaan apa yang sudah aku
ciptakan selama ini. Tapi, dengan kata lain hal ini menunjukan bahwa aku ingin
terus menjadi pribadi yang berkembang. Banyak yang perlu dipersiapkan untuk menjadi
sosok yang kelak akan menjadi panutan untuk anak-anakku kelak. Menjadi sosok
yang bisa ditiru ketika aku sedang menjadi seorang pendidik. Menjadi sosok yang
membuat orang tua dan pasanganku kelak tak menyesal bahwa aku telah hadir di
hidup mereka. Menjadi sosok yang bermanfaat untuk orang lain. Pun menjadi sosok
yang aku bisa ‘bangga’ pada diriku sendiri. Satu dari sekian banyak pegangan hidupku, “Berbuat baik tanpa berharap semua berbalik.”
Jadi, untuk kalian yang mengenalku lebih-lebih terima kasih telah menerima dan
mentoleransi sifat dan sikap tidak baik
dalam hidupku. Terima kasi telah menjadi pengkoreksi jika aku salah dan mari kita bertumbuh bersama. Jangan lupa
untuk berprasangka baik, berkata baik dan berbuat baik.
Komentar
Posting Komentar