Tempat, Langkah dan Semuanya

Tadi malam aku tidur nyenyak, itu sebabnya mimpi tidak menghampiri walau sejenak. Sayangnya, ketika aku bangun mimpi itu justru hadir. Aku bermimpi di waktu yang seharusnya mata ini beraktivitas lebih tajam.

Mimpiku sederhana, tapi jalan belum pasti jelasnya. Aku ingin mengunjungi suatu tempat; lokasinya masih buram tak bisa tertatap. Ini yang dulu aku sangkal. Bagaimana bisa orang-orang ingin mengunjungi tempat itu. Sekarang, aku ingin ke sana. Aku mencari jalan, jalan yang aku paham bahwa rutenya perlu pemahaman. Meski, yakinku bisa. Apa gunanya hanya yakin, jika usahaku tak sekuat rutin.

Aku melangkah keluar, memandang langit. Tak berharap langit menyapaku, sebab jika langit menyapa takutku semua terasa lebih mudah. Aku tak mau. Kubiarkan langkah menggerakkan kakinya sendiri. Aku terkejut saat tangan menepuk pundakku, ibuku. Tak seperti biasanya, ada tanya yang bersuara. Pun, ada diam yang tetap kuredam.

Seorang sahabat menegurku, “Barangkali sudah banyak tempat yang tanpa kau sadar justru kau lewati.” Lagi-lagi aku membatu, pikiranku semakin tak menentu. Mataku tidak tertutup, tapi akalku belum mengerti cukup. Ah.  “Mau sampai kapan melewati lagi, kau hanya perlu mengetuk dan duduk. Kau tak perlu berpikir lebih jauh.” Ujarnya. Kali ini aku tak sepakat, banyak jawabanku yang mengandung debat. “Jika hanya duduk dan pulang, tenagaku habis untuk sekadar berpergian.”

Aku takkan berhenti, meski mataku tak bisa melihat dengan jeli. Bahkan, untuk membedakan mana tebing, batu dan kerikil sulitku penuh sampai akhir. Aku butuh kacamata dan sedikit bantuan tangan. Iya tangan, yang mengantarku pada jalan. Jalan menuju tempat paling kuinginkan. Tempat yang dengan rela aku datangi, menyeduh kopi dan saling bersuara tanpa menepi. Tempat yang tak sekadar aku kunjungi; menetap dan bernyawa hingga mati.

Jika belum ada yang bisa dilakukan, aku akan mengayunkan suara yang bisingnya tak mungkin ada penemunya. Suara yang bunyinya hanya ada dua pendengarnya. Aku dan Yang Maha Mengerti. Kau tahu apa bincangku? Bukan tentangku. 

Aku ingin lekas mengunjungi—menetap—menghabiskan hari, pun saat kembali rumahku berjumlah dua; rumah menuju surga.

Komentar