Cerita Teman

Orang-orang akan berujar ini membuang waktu. Dulu aku akan menjawab tidak, sekarang iya. Sadarku kini lebih-lebih mengetahui bahwa aku tak sedang mengejar siapa-siapa. Mengejar, artinya berlari. Tak bisa kubayangkan semelelahkan apa berlari untuk hal yang sama sekali tak ada jaminanya. 

Setiap hidup ialah risiko, setiap pilihan adalah kemuan.
Ingin rasanya memiliki mau yang jelas, sedang aku tidak.

Orang lain—yang tak mengenalku—menilaiku mentah-mentah bahwa aku tampak dikasiani menunggu sosok sepertimu. Padahal aku sama sekali tak menunggu. Aku hanya duduk sebentar di sebelah kursi kosong. Mengistirahatkan kaki, melegakan punggung, pun memejamkan mata sementara pada sebuah perjalanan.

Apa harus kujelaskan pada dunia bahwa kau yang pernah memintaku untuk menunggu? Apa harus kuketahui janji-janji apa yang kautabur kepada wanita-wanitamu selain aku di luar sana; hingga ada yang menilai aku semenyedihkan itu? Apa aku perlu mengeluarkan emosiku seperti wanita-wanita pada umumnya—mengamuk dan mendiamkanmu lama-lama dan tak lagi ingin mengenalmu—tidak bukan?

Jika jalan ini tak bertemu pada satu titik, maka menyudahi pertemanan ialah pilihan baik. Sungguh jenuhku memuncak, luka egoku menyeringai siap mengepak. Aku tidak tahu kepada siapa hatiku akan memilih, tapi pada akhirnya inginku tak berguna apa-apa jika nyamanku perlahan memudar.

Rasanya, aku tak mengerti apa itu sayang—keputusan—; pahamku kan' menjalani apa yang membuat sedihku berkurang. Iya, sedih akan tetap menghampiri, pilihan ada jatuh pada durasi yang paling sedikit jumlahnya bukan. 

Tak ada yang benar-benar bahagia, 
tapi sedih yang datang tidak sesering itu adalah pilihan bijaksana.

Kita memang tak bisa menutup banyak mulut untuk menilai; tapi kita bisa memilih mata untuk melihat yang kita ingin

Komentar