Aku Menyerah, Kita Menuju Masing-Masing Kisah

 

Hay, bagaimana kabar kalian hari ini? Sepertinya aku menulis kali ini dengan rasa emosi. Senandika ini aku persembahkan untuk temanku yang berusaha agar kewarasannya tetap terjaga, meski ada patah yang tak lagi bisa kembali seperti semula.

Aku baru saja selesai menutup telepon dengan dengusan napas yang siapapun mendengarnya akan mengeti bahwa emosiku sedang naik-naiknya. Ini kesekian kali yang berulang-ulang kamu menjadi penyebab emosiku menjadi berantakan. Harusnya aku menangis, tapi kali ini sepertinya ingin aku memaki siapapun yang ada di depanku.

Setia, katanya setia. Apa itu setia? Aku perlu belajar berulang-ulang bahkan bertahun-tahun untuk mengerti bahwa setia itu bagian dari hidup. Dulu, aku harus dihancurkan oleh makna setia dari keluargaku sendiri, sekarang makna setia itu tak juga kutemukan di kehidupan pribadiku. Iya, aku memberi setia tapi tidak menerima apa itu setia.

Setahun lalu, tak terhitung berapa kali aku bersyukur kepada Tuhan perihal ada kamu di hidupku. Sosok laki-laki yang baiknya tak main-main. Sosok yang selalu ada, menerima lebih-kurangnya; pun segala upaya akan dilakukan untuk mewujudkan apa yang aku mau selagi bisa. Mungkin, kamu tak seperti mereka di masa laluku yang memiliki segalanya, tapi secara sederhana caramu membuatku bersyukur secara nyata. Ini baru baiknya kamu ya, belum keluargamu.

Aku mungkin satu dari sekian yang beruntung bisa diterima di keluarga orang yang kupikir akan menjadi keluargaku selamanya. Secara diam-diam aku sering membicarakan kelakuanmu pada ibumu. Tentu saja, mengeluhimu akan disambut dengan tertawa bersama pada ujungnya. Ibumu tentu sudah hapal di luar kepala tentang kamu, aku berkali-kali mengerti kenapa kamu tumbuh sebaik ini; ibumu hangat. Beberapa bulan yang lalu ayahmu wisuda, kukirimkan sebuah papan ucapan sebagai pengganti hadirnya aku yang pada saat itu sedang tidak bisa datang. Kudapati status whatsapp foto papan ucapan dengan caption calon mantu. Hahahaha jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, senang itu pasti. Tapi di saat bersamaan ada hancur yang tak bisa kujelaskan. Keluargamu hangat, di sisi lain kamu adalah pencipta hatiku ada banyak luka sayat.

Beberapa kali aku mulai berpikir, apa aku sekurang itu untuk kamu sehingga tak cukup sekali pengkhianatan ini terjadi. Apa aku memang tak bisa memenuhi maumu hingga ada banyak nama perempuan yang turut meramaikan hubungan kita. Iya meramaikan, sudah berapa kali riuhnya pertengkaran kita tak cukup hanya kita saja. Entah itu pasangan orang lain atau perempuan yang sebenarnya tidak tahu bahwa kamu itu milik aku. Berapa kali juga dengan sadar kamu mengkhianatiku dengan cara yang tak ada lagi moralnya. Jadi, sudah berapa banyak perempuan yang kamu rasakan napas tidurnya selama kita ada di hubungan ini? Aku yang gagal menjaga kamu atau kamu yang gagal menjaga hubungan kita?

Tak mudah, ini tidak mudah. Meyakinkan diri sendiri bahwa kamu bukan yang terbaik untuk aku itu benar-benar tidak mudah. Rasanya aku yang telanjur tak ingin berpisah tapi candumu terhadap selingkuh itu parah. Kamu yang datang pergi dengan sesukamu. Mungkin kamu berpikir aku akan terus menerima, mempersilakan kamu duduk di ruangan bernama kita. Pun memaafkan semua kejadian-kejadian penyebab utama luka. Sampai kapan? Sampai kapan kamu hanya menjadikanku sebagai rumah untuk pulang, bukan untuk tinggal. Sekadar pulang ketika lelah, lalu pergi tanpa ada arah. Hanya karena kamu tahu aku sangat menyayangimu, apa itu berarti izin untuk menyakitiku itu ada?

Kemarin seperti tanpa dosa kamu datang lagi; memintaku untuk kembali. Aku tertawa, sudah tak bisa lagi menangis menjadi reaksi utama. Kamu berkata bahwa masih menyayangiku padahal sudah ada wanita lain yang mengisi hidupmu? Ini bukan yang pertama, terulang entah kesekian kalinya. Orang lain akan menilai aku bodoh, jika mau menerimaku. Pun, aku berpikir demikian. Bolehkah aku bertanya, definisi sayang menurutmu itu apa? Kamu jahat, luka yang kauciptakan tertancap kuat. Bisakah maaf yang keluar dari mulutmu itu maaf yang nyata? Maaf yang tidak ada lagi repetisinya. Hahaha berharap kamu berubah seperti meminum madu langsung lebah; terlalu berisiko. Aku berisko untuk patah, kamu berisiko untuk membuat keluargamu menahan malu karena menyerah; menyerah dengan semua kelakuanmu.

Kali ini dengan sadar aku ingin kalah. Memaksa diri untuk tak menerimamu lagi dengan pertimbangan berdasarkan semua yang salah. Barangkali salahku selama ini turut andil di dalamnya, meski sampai saat ini belum kutemukan salah itu di mana. Oh, salahku terlalu percaya bahwa kamu itu istimewa, bahwa manismu tak terbagi oleh siapa-siapa. Salahku, mempersilakan kamu tinggal dan membiarkanmu meski kamu terus menghancurkan semua isinya. Iya, itu salahku.

Akan kucoba, akan kucoba untuk berdamai dengan semua yang ada. Berdamai bahwa kamu dan aku tidak lagi bisa bersama meski keluarga kita sudah sama-sama menerima. Berdamai bahwa manismu hanya di awal pertama saat hubungan kita sedang hangat-hangatnya. Berdamai bahwa bukan lagi aku yang akan menemanimu, bukan lagi suara nada tinggiku yang akan memarahimu jika kamu sesembrono itu. Berdamai bahwa kamu memang sudah menyakitiku berkali-kali.

Akan kucoba untuk membuka mataku bahwa akan ada orang lain yang bisa meyayangiku dan aku pun menyayanginya. Akan ada orang lain yang bisa menghargaiku bahwa aku pantas dijadikan satu-satunya. Akan ada orang lain dengannya aman dan nyaman adalah paket yang tersedia. Pun, akan aku akan ditemukan oleh sosok lelaki lain yang takkan membagi sacelah ruang kosong di hatinya untuk orang lain. Pasti akan ada dan lekas ada. Bilamana itu terjadi, mungkin telingaku seketika akan tuli, tuli jika suaramu kembali mengisi. Aku takkan mendengar apa-apa lagi tentangmu.

Iya, saat ini tugasku hanya sedang berhenti. Berhenti tentangmu. Berhenti tentangku. Berhenti tentang semuanya; sementara. Aku mengambil jeda, agar hidupku bisa lagi untuk ditata. Terakhir, sampaikan salamku pada ibumu, maaf aku menyerah; kita berakhir perdetik ini untuk sama-sama menuju masing-masing kisah. Terima kasih, tentangmu pasti ada baiknya. Semua itu akan tersimpan pada kotak yang kuncinya masih ada. Kelak, jika aku rindu akan kubuka dan masih bisa kubaca; setidaknya untuk belajar. Belajar untuk lebih menyayangi diriku sendiri. Terima kasih, Dit.

 

Bandarlampung, 18 Januari 2022; untuk Ika.

Komentar