Sebatas Teman itu Memang Kita yang Putuskan

Hari ini rasanya ingin aku sebut dengan hari hibernasi. Hahaha ada-ada saja isi kepalaku hari ini. Seharian, seharian aku menahan kantuk. Tempat tidur seolah sama sekali enggan untuk aku tinggal meski hanya sebentar. Hahahah tak usah dibayangkan bagaimana raut wajahku saat ini. Make-up yang belum aku hapus dari semalam, bodoh sekali hahaha. Tulisan ini tentang temanku yang tangisnya sedang sendu; tentang merindu.

Aku memiliki seorang teman, teman anggap saja teman. Kami berdua saling mengenal dari sebuah media sosial. Rasanya di zaman sekarang mengenal seseorang dari media sosial sudah tidak aneh lagi. Ya meski beberapa hal terasa sangat menakutkan, tapi jika sekadar teman rasanya tak apa. Aku dan dia tidak seasing itu. Kami berasal dari satu almamater yang sama, meskipun selama kuliah kami tidak mengenal. Setidaknya, sebagai seorang teman kami tidak seasing itu.  Bukankah terkadang kita lebih merasa aman mengenal seseorang yang temannya juga kita kenal?

Awalnya aku tidak memiliki tendensi lebih dari seorang teman, wajar saja saat itu sedang dekat-detanya dengan seseorang meskipun pada akhirnya aku justru lebih dekat dengan dia. Aku merasa dia hangat dan tak pernah menutupi apapun, sama sekali. Setiap pagi kerap kujumpai suara halusnya di vn whatssap dan secara bersamaan aku menikmati perhatian dan candaan-candaan kecil yang dia berikan. Rasanya, berteman ini biasa saja sampai pada akhirnya dia mengajakku untuk berjumpa. Bukan aku namanya jika malas mnjumpai seseorang apalagi di situasi pandemi seperti ini. “Kalau nggak ketemu, nanti cabangmu makin banyak.” Ujarnya. Aku tertawa saat itu. Dia hangat dengan caranya, tanpa manis yang berlebihan dan tanpa janji yang berhamburan.

Hingga pada suatu ketika, aku menangis. Aku menangis di hadapannya, menangis bukan karena dia; menangis karena lelaki lain yang selama ini aku harapkan ternyata tak sesuai dengan harapan.  Aku menangisi sosok laki-laki lain di hadapan laki-laki yang juga dekat denganku. Hahaha aku akan menerima jika kalian yang membaca ini akan mengumpatku habis-habisan. Aku pun tak mengerti mengapa aku bisa sedemikian. Aku membiarkan lelaki lain menghapus airmataku; dari lelaki lain. situasi macam apa ini. Belum sampai situ, semua masih berlanjut. Kabar dan keluhannya masih bisa kudengarkan setiap hari. Hahaha

“Aku nggak apa kalau kamu jadikan pelampiasan atau badut loh.” Ujarnya sambil becanda dan diikuti oleh tawaku yang menolak itu semua. Aku tidak mau, aku tak mau menjadikan dia sebagai pelampiasan rasa sakitku oleh lelaki lain. aku tak mau memiliki hubungan seperti itu. Pun, jika aku ingin bersamanya aku ingin menyayanginya secara hatiku, bukan karena aku kehilangan seseorang.

Tiga bulan, tak terasa tiga bulan. Tiga bulan dia menemaniku. Aku yang pemerhati ini hapal semua rutinitasnya. Rutinitas di depan komputer sebagai editor videografer. Rutinitas memantau perkembangan grafik crypto. Satu hal aku sangat hapal sekali ketika warna merah menghiasi chart akan kutemukan omelan-omelan yang sama sekali tak berani aku jawab. Kubiarkan omelan-omelan itu karena di saat bersamaan aku menikmatinya. Hahaha. Aku rindu saat-saat itu.

Suatu ketika aku menghilang pun dia juga. Kami sama-sama tak saling mencari, entah karena editan dia banyak atau dia sengaja tak ingin menggangguku. Aku menghubunginya lebih dahulu. Entah karena kesal tidak dicari maka banyak omelanku yang muncul saat itu. Kesal, pasti. “Kalau udah punya pasangan bilang dong.”Aku tuh gak apa mas kalo kamu ada perempuan yang deket, pacar. Tapi ya bilang ngga ngilang.” Sekesal itu dan dia hanya membalas “Kenapa dateng-dateng marah, kamu apa kabar?” hahaha bodoh sekali aku membaca pesan itu. Mengapa sekarang justru aku yang mencarinya, nah?

Petengkaran itu membuat aku dan dia memutuskan untuk bertemu. Malam itu, dia datang dan aku menghampirinya. Kutemukan sosok yang sekian lama kurindukan, sosok seorang teman. Iya, teman. Malam itu hujan, tapi kamar terasa panas. Entah aku yang kelelahan akibat aktivtas seharian atau dia yang lelah karena perjalanan jauh. Selepas kumandi dam meminum susu favoritku, aku meminta dia menayangkan film yang biasa aku tonton di rumah. Sembari menikmati secangkir susu, kurasakan pelukan hangat mendarat di tubuhku. Pelukan yang selama ini kurindukan, pelukan yang aku dan dia sebagai teman. Kunikmati pelukan itu, kuusap rambutnya berkali; kucium keningnya sesekali. Masih terekam di kepala bagaimana rasanya malam itu. Bahkan, aku pun tak menyadari ada hangat yang mendarat di bibir ini. Jangan tanya, apa yang kulakukan; kalian pasti salah paham kelanjutannya.

Ini salah , ada yang salah. Ada yang tak seharusnya. Kupandangi dia yang sedang tertidur. Dia yang dengan lelapnya. Lemah sekali aku melihat lelaki dengan pulasnya. Lemah sekali, aku melihat lekaki yang sedang tertidur di hadapanku. Harusnya aku tak mengiyakan ajakan bertemu ini. Harusnya aku tak perlu melihat pulas dan cara dia tertidur. Kucium berkali kening itu. Kening yang di dalamnya terisi berapa banyak beban. Kening yang terisi banyak hal satu dua tiga dan banyak ketidaksiapan. Kening yang selalu berpikir tapi banyak tak ingin. Kening, yang tidak ada tentang kita. Tentang kita yang sama-sama ingin sebagai teman.

“Aku sadar kita tidak bisa bersama, kamu nggak mau cariin aku pasangan gitu?” dia tetawa pun tak menjawab banyak untuk selanjutnya. Banyak, banyak hal yang kutemui tentangnya di malam itu. Sabarnya, keluhannya, pun tentang dia yang sudah tak seperti semula. Aku dan dia sama-sama menyadari bahwa bersama bukan jalan untuk kita.

Pernahkah kalian melihat seseorang dan kalian ingin sekali menyayanginya? Kalian ingin merawatnya? Kalian ingin bersamanya bertumbuh secara berdua? Tapi tak bisa. Tak bisa bukan tak ingin, tak bisa karena berusahaku sudah kulakukan supaya aku memiiki perasaan tapi ini tidak. Aku gagal membangun perasaan. Aku gagal untuk bisa menyayanginya. Aku kalah, perasaanku tak mau muncul searah. “Aku punya gebetan.” Kubaca pesan itu berkali, berulang, dan sekali lagi; kubaca. Hahaha ada yang aneh dari reaksiku. Ada yanga aneh dari rasaku membaca pesan itu. Ada yang aneh dari aku yang memintanya untuk bersama wanita lain tapi saat ini aku merasa aneh.

Malam itu, sudahi semuanya. Aku tak ingin berteman seintens itu. Aku tak ingin lagi merusuhinya. Aku tak ingin mengganggunya dengan masalah-masalah serta keluhan tak bermanfaatku. Aku tak ingin menyakiti perasaan wanita yang dekat dengannya. “Aku tahu persis bagaimana hancurnya ketika lelaki yang dekat denganku juga dekat dengan wanita lain, Mas.” ujarku kepadanya malam itu. Iya, malam itu aku menyerah. Menyerah pada perasaan yang belum ada. Menyerah pada hubungan yang tidak ada tapi kami ada. Menyerah, karena aku menghargai calon pasangannya.

“Tapi ini belum pasangan dan akupun tak tahu akan pacaran atau tidak.” Hahaha aku tertawa mendengar itu. Meskipun belum bisa kumenyayanginya ada rasa tak biasa yang sebelumnya tak ada. Rasa yang aku harus cepat-cepat pergi; mengakhri cerita yang sudah terjadi. Doaku baik mas, semoga dia mampu menjagamu. Semoga dia bisa memahami isi kepalamu yang tak rumit itu. Kepalamu yang suka berpikir berlebihan tapi tak mau dianggap demikian. Kepalamu yang terkadang masih ada nama mantanmu. Hahaha. Yakinku semoga kamu bisa menyayanginya, meski kamu bilang baru gebetan tapi dugaanku tak berujar demikian.

Mas, malam ini sebenarnya aku ingin bercerita; beberapa hari lalu aku berjumpa dengan dia yang membuatku terluka. Ingin rasanya aku menghubungimu dan meluapkan segalanya. Tak bisa, tak bisa. Tak ada yang berubah, hanya aku yang berpikir ini salah.

Doa baik harapan baik, terima kasih telah sempat menjadi teman dekatku; pun menghibur di waktu-waktu terpilu. Aku tahu ini aneh, tapi sesekali aku merindukanmu. Pun secara bersamaan, mengganggumu sesebagai teman saja aku tak seberani itu. Kabar baikmu akan selalu kutunggu, meski ceritamu bukan lagi aku yang menjadi pendengar itu tentu. Sebatas teman, itu memang kita yang putuskan. Aku akan memberimu kabar baik pula esok lusa atau nanti. Kabar baik ketika aku menemukan laki-laki baik selain kamu. Kabar baik dari teman wanitamu yang sering terjatuh ini, “Kamu hobi jatuh ya.” Semampuku akan selalu kuingat, bahwa katamu lelaki itu jahat dan aku harus waspada; agar tak terluka. Terima kasih, mas. Takkan kusebutkan namamu di sini, biar aku dan Tuhan saja yang mengerti.

Bandarlampung, 23 Januari 2022; untuk Jena.

Komentar