Perihal Rindu atau Aku yang Sebenarnya Ingin Kamu?

Hari ini cuaca panas sekali. Beberapa kali aku berganti baju dan membasuh kepala, sekadar mendinginkan suhu tubuh yang rasanya gila. Tubuhku panas, pun suasana hatiku yang tak terdefinisikan sedang memelas. Rasanya aku ingin berteriak, memastikan apa yang aku rasakan terpancar tanpa harus terisak. Membayangkan menjadi anak kecil yang tantrum lalu memohon-mhon kepada ibunya untuk bisa mendapatkan sesuatu, bisakah aku coba itu? Hahaha khayalan macam apa ini.

Isi kepala sedang kusut-kusutnya, tak bisa menjadi pembeda mana ingin mana butuh pun sesuatu yang sebenarnya tak ada. Aku mulai berpikir sebenarnya aku ini apa? Aku ini siapa? Dan aku aku yang lain. Aku sedang tak bisa memahami diriku sendiri. Aku sedang berjibaku dengan diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tak mengenaliku diriku sendiri meski aku berkali-kali jujur apapun rasa yang aku hadapi? Ini seperti anak rumput yang tertiup angin, terbang lalu hilang. Aku tak sampai hilang, aku sedang terbang; tanpa tujuan, menunggu hilang.

Banyak hal yang menjadi pertanyaan di kepala lalu membentuk ruang masing-masing. Ruang yang setiap isinya penuh dengan ketidakpastian dan ketidaksanggupan atas penolakan. Ah, ditolak bekerja aku berani, sedangkan untuk hal lain tidak. Mungkin aku terlalu menjadi satu-satunya di rumah hingga egoku sangat tidak menyukai ketiadaan penerimaan. Aku benci diabaikan.

Sekuatku aku bisa saja menerima bahwa abai yang hadirnya dari kamu adalah hal yang benar-benar pantas aku terima. Adalah hal sebenar-benarnya dari hatimu; untuk aku. Iya, sadarku lebih-lebih atas itu. Aku pun tak bisa menyalurkan emosiku perihal ini. Mau marah? Untuk apa? Mau kecewa? Aku siapa. Mau menghubungimu lalu tantrumku menggebu? Rasanya tak perlu. Ingin, ingin rasanya aku lakukan, tapi jika berujung tak ada ya untuk apa. Energiku terkuras, meski aku ingin duduk di sampingmu dengan wajah memelas. Tak mengubah apapun.

Beritahu aku, bertahu aku apa yang harus aku lakukan. Beritahu aku apa yang perlu aku tinggalkan dan kejar. Beritahu aku; aku akan menemukan orang yang sepertimu tapi bukan kamu. Beritahu bahwa jika kamu memang bukan untuk aku, aku akan tetap bisa menjalankan tujuan hidupku. Iya tujuan hidup. Apa itu tujuan hidup. Inginku aku bernapas untuk hari ini. Inginku aku makan dan berpikir untuk hari ini. Aku tak memiliki daya bagaimana jika nanti apa yang sudah kususun dan kurencanakan tak bisa sesuai apa yang kumau. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Meskipun, sebenarnya jauh-jauh sebelum itu aku sudah paham; kekecewaan itu tak sekadar lebam. Hahaha bodoh. Otak dan hatimu tidak singkron. Jangankan untuk singkron, memastikan untuk tahu apa yang di kepa dan hati saja tidak bisa. Ccckckck, aku sedang kenapa?

Ada beberapa orang yang menawarkan untuk hidup bersama, tapi rasanya logikaku tak menerima. Mengapa akhir –akhir ini kepalaku tentang kamu? Mengapa akhir-akhir ini perasaanku hanya kamu. Mengapa semua mimpi-mimpiku ini mauku hanya kamu. Mengapa? Hahaha kendati demikian, aku masih bisa berdenial bahwa ini hanya perihal rindu; bukan aku yang sebenarnya ingin kamu.

Bagaimana bisa, semua yang biasa tersedia kini tolehannya pun tak bisa lagi aku rasa. Bagaiamana bisa, orang nomor satu yang bisa aku datangi kapan saja, kini hanya sebatas nomor telepon yang tertera di salah satu kontak yang ketika kamu ingin menghubunginya saja segan. Bagaimana bisa, aku melewatkan orang yang semestinya aku rawat baik-baik. Bagaimana bisa, aku sebodoh ini. Aku bodoh, dan kamu pergi. Kamu pergi dan aku baru menyadari. Hahahha aku sedang tidak baik-baik saja; ternyata.

Rasanya aku ingin menemui dan berbincang kepada Tuhan; meski sebentar untuk mendapat jawaban instan. Ini salah dan aku masih ingin bertanya kepada Tuhan? Hahaha tak apa. Aku masih hamba yang sebaik-baiknya ingin berusaha menceritakan  bahwa ada hamba lain yang membuat kepalaku penuh; berpengaruh. Aku dan kamu kesalahan. Aku tak menyesal melakukan kesalahan ini. Ah, tak ingin mengingat tapi kepalaku; kamu lagi.

Aku sedang tidak baik-baik, memikirkan apapun terasa rumit. Bahkan, untuk mengurai apa yang terlihat saja masih banyak penyangkalan-penyangkalan. Tuhan, bolehkah aku meminta dia kali ini? Jika doaku meminta menjadi guru lagi belum Kaurealiasi, bolehkah aku meminta yang ini? Tidak, aku takkkan memaksa, seperti sebelumnya; aku hanya akan sesekali mengingat bahwa yang untukku pasti akan ada dan yang bukan pasti akan jauh. Doakan saja, doakan saja aku sanggup menerima. Doakan aku bisa berdamai dengan realita, realita bahwa aku dan kamu sepertinya memang bukan untuk bertemu agar bersatu. Kita kesalahan dan takdir tak berujung menyatukan. Tak apa. Kamu tetap indah di mataku. Seburuk-buruk kamu, suaranya masih membuat aku ... ah.

Ada satu hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan. Apakah kamu sadar, ada rasa sayangku yang memacar? Jujur aku merasa kamu mengerti tapi memilih untuk tak mau menanggapi. Hahaha sedih sekali. Padahal awalnya aku yang sepakat untuk tak boleh memiliki perasaan tapi hanya karena melihatmu tertidur aku bisa sesayang ini. Hahahaha entahlah.

Aku tak tahu tulisan ini akan sampai kepadamu atau tidak. Aku tak memiliki keberanian untuk berbicara; jika mengubah semuanya. Aku lebih memilih kita baik-baik saja; meski ada perasaan yang harus kulepas, secara ikhlas. Tak apa, aku turut bersyukur kepada Tuhan, mengenalmu sudah menjadi bagian yang menajubkan. Pahamku, kautak sebaik itu, tapi aku menerima. Kuletakkan baik-baik tentangmu di sudut lemari. Jika nanti kubuka bukan untuk kuambil, tapi untuk aku jadikan cerita; cerita bahwa kamu pernah menjadi sosok istimewa. Kau tidak jahat, hanya aku yang keliru memahami rasa yang melekat.

Bandarlampung, 21 Februari 2022

 

Sudut kolam

Komentar