Seperempat Abad dan Lebam yang Berabjad

 

“Bu, besok kita mau masak apa?” ujarku kepada ibu sore ini. Antusiasku lebih-lebih untuk bisa merasakan kembali bagaimana nikmatnya masakan ibu. Sudah seminggu lebih, jangankan untuk menikmati makanan untuk bernapas saja sepertinya sulit. Setelah dua tahu, keberuntungan berpihak kepadaku perihal virus yang sedang hangat-hangatnya ini akhirnya apesku ada juga. Hahaha jangan tanya bagaimana tersiksanya, mungkin setelah ini aku akan menghargai lebih-lebih perihal sehat.  Iya, jika tidak khilap. Hehehe

Makanan pertama yang ingin aku makan jelas makanan rumahan, terus dilanjutkan makan-makan pedas dan yang pasti jajanan-jajanan di luar sana. Ughhh, seminggu lebih aku tak menghirup udara luar, berjibaku dengan isolasi mandiri membuat kepalaku yang sedang sehat saja sering gila ini benar-benar menjadi gila.  Melihat kendaraan di jalan raya kali ini bisa membuatku norak berlebih-lebih.  Mungkin ini terkesan berlebihan, tapi untukku yang terbiasa bersosialisasi dengan orang lain dan terkurung di rumah saja dengan waktu yang lumayan lama pasti akan membuat kepala ingin kulepas meski sebentar.

Sakit ini membuat mentalku jatuh berkali. Aku bahkan nyari menyerah dan marah. Menyerah karena rasanya setidak nyaman itu, marah mengapa aku turut merasakan ini. Saat-saat pikiran berlebihanku berkecamuk, aku kembali ke perjalanan setahun terakhir. Perjalanan yang tidak ada mudah-mudahnya. Perjalanan yang rasanya aku harus berucap, kamu hebat berkali-kali pada diriku sendiri. banyak ruang kosong di hidupku padahal aku merasa nyaris semua baik-baik saja. Keluarga yang dukungannya jangan ditanya—meski tak selalu, teman yang jumlahnya tak terkira dan dana yang bisa aku cari kapan saja. Ya meskipun awalnya tak demikian, ada banyak drama yang sempat tak berkesudahan. Tapi, lagi-lagi aku hebat. Semua terlewati, semua bisa seperti apa mauku kini.

Aneh rasanya tetap ada ruang kosong, apa ini perihal hati? Ah, aku rasa aku sudah tak memiliki hati. Apa itu perasaan? Setelah semua hancur berantakan dan aku tak bisa membereskan. Aku tetap duduk dan menyaksikan semua yang terburai. Bukan, bukan aku tak ingin semula rapi; tersusun hingga siap ditempati. Bahkan aku harus mengetok kepalaku kuat-kuat untuk bisa menerima bahwa ini aku benar-benar disakiti dan aku menerima dengan sadarnya. Aku, menerima seburuk-buruknya perlakuan yang ada pun aku menerima bahwa yang menghancurkan aku itu kamu?

Sulit, sulit sekali. Bahkan sampai saat ini aku berkali masih menyalahkan diriku sendiri. apa aku tak diizinkan bahagia pada semua aspek yang kupunya. Apa aku memang dinilai pantas untuk menerima; semua perlakuan yang bisa dinilai hina. Aku salah? Hahaha aku terlalu bergantung dengan kamu pun bahagiaku. Banyak hal-hal kecil yang sumbernya dari kamu dan aku aku senang. Ada nyawa bahagia lain, yang hadirnya ketika kamu satu-satunya kuingin. Menghela napas, takut terlepas.

Aku bingung. Iya bingung. Harus berapa pelarian yang akan kulakukan nanti, jika damai denganmu saja belum kudapati. Aku takut, takut menyakiti orang lain karena sebenar-benarnya hati masih saja tentangmu yang tak tahu diri. Kasar sekali lisanku, tapi tak mengubah apapun. Kamu tetap menjadi orang yang inginku tetap ada, tapi lukanya tak sanggup kuterima. Hahahha jika teman-temanku tahu aku masih berpikir demikian, mungkin bodoh dan makian akan terujar untukku tanpa pikir panjang.

Ada karma apa tentang aku dan kamu di masa lalu, hingga bisa kita serumit ini. Kamu yang berkali menyakiti tapi kamu pula yang tetap menginginkaku meski tak satu-satunya di hati. Kamu gila dan aku tetap menerima; saat datangmu tiba-tiba. Di antara gila-gilamu itu, mengapa tetap saja kamu melaporkan kepadaku. Akhh, ini sudah diluar nalarku. Lagi-lagi tetap kuterima. Hahaha iya, aku bodoh tak usah diperjelas, akupun sudah malas.

Bisakah benar-benar berhenti? Bisakah benar-benar selesai? Aku lelah dan jangan membuatku menyerah. Janjiku sudah kubuat jelas-jelas bahwa tentangmu takkan membuat hidupku selesai. Lemah sekali jika aku sampai berpikir demikian. Atas semua yang telah terjadi, aku belajar menerima bahwa apa yang kualami; memang harus kuterima, bukan pantas kuterima. Mungkin Tuhan sayang kepadaku lebih-lebih, hingga banyak pelajaran di dunia yang harus aku ambil alih. Iya, ini perihal mempositifkan diri, bukan saatnya aku marah lalu memaki. Hahahaha manusia biasa adalah aku.

Ini adalah umur baru, seperempat abad aku bertemu. 23 Februari, aku berjumpa lagi. Terima kasih, sudah mau tetap bernyawa; meski ujiannya luar biasa. Terima kasih, sudah belajar menerima; meski kecewanya tak terangka. Terima kasih, sudah mau berusaha; atas segala yang baik-buruknya menyapa. Aku masih manusia, kurangku pasti janganlah ditanya dan aku pun butuh orang lain untuk bisa menamparku saat aku gila. Tak mungkin aku tak pernah menyakiti, tak mungkin aku tak pernah melalai diri, dan tak mungkin lain-lainnya.

Terima kasih, entah kepada siapapun yang menerimaku; pun mau menyapaku saat aku sedang tak mampu melihat. Saat aku lupa cara mendengar, pun saat aku lupa cara berjalan. Terima kasih kepada tangan-tangan baik, kepada telinga-telinga yang masih mau mendengarkan keluhan atau segala macam kerandomaku saat aku tidak baik-baik saja. Semua bisa tetap berjalan, ada topangan yang membuatku tetap bisa bertahan; di luar mauku yang niatnya tanpa bantahan.

Selamat ulang tahun, aku. Panjang umur ya anak ayah dan ibu. Kebanggaan adik dan semua yang ada di rumah. Semoga aku tetap bisa memberi makna, pada siapapun yang mengenalku tanpa orang lain sumber suara. Pun, semoga aku bisa lekas sembuh; dari luka yang perihnya masih berpengaruh. Tak apa, bertahan dan bersyukur adalah mauku saat ini. Selamat ulang tahun aku, aku tahu aku hebat. Aku tahu aku kuat, pun aku tahu aku kalian sayangi. Selamat ulang tahun, Ika Suci Febriyanti.

 

Ujung Kota, dua puluh tiga bulan dua tahun dua ribu dua-dua

 

Nja.

 

Komentar