“Jadi kamu sekarang udah punya pacar,Ti?” Tatapku mengintrograsinya
saat itu.
“Iya Mas, baru dua minggu.”
“Terus kenapa kamu masih nanggepin aku?”
Tanyaku sekali lagi.
“Aku juga bingung Mas.”
Kali ini matanya tak berani menatap mataku. Dia tak mau menjelaskan apa-apa selain kebingungan-kebingungan yang hanya disimpan sendirian. Iya, sendirian; tanpa membaginya denganku.
Namanya Tira, wanita yang kukenal dari adik sepupuku. Urusan cantik rasanya mataku tak pernah salah, lebih dari itu aku menginginkannya. Matanya, matanya memintaku untuk memilikinya. Matanya menyiratkan bahwa dia wanita beruntuk jika denganku. Matanya memberitahuku bahwa dia akan baik-baik saja denganku. Ah, percaya diri sekali tapi kata ibuku lelaki memang harus percaya diri selama dalam hal kebaikan. Iya, wanita itu yang aku inginkan masuk dalam kebaikan yang ingin aku usahan saat ini.
Mungkin benar, wanita maunya tak bisa dipercaya. Terkadang aku mendefinisikan apa ternyata yang dipikirkan bagimana. Rumit sekali. Wanita memang makhluk Tuhan yang pembelajarannya tak cukup hanya 2 - 3 sks jika dalam perkuliahan. Seumur hidup, yakinku mempelajari wanita sama seperti menghabiskan umurmu; seumur hidup. Tak apa, aku menikmatinya, apalagi jika yang harus dipelajari itu kamu. Rasanya ikhlasku keberikan Cuma-cuma, sayangnya jawaban itu belum diterima.
Suatu waktu aku berpikir ini tentu salah. Berurusan dengan wanita yang sudah berkomitmen meski baru sebatas berpacaran. Jelas, aku tahu ini tak sejantan lelaki sebenarnya, tapi rasanya aku tak salah sendirian. Ada kamu; situasi yang pemainnya tak hanya aku. Ada kamu yang membuka pintu saat penghuninya harusnya cukup dua kepala jadi satu. Ada kamu yang masih mau menerima kemungkinan-kemungkinan lain yang barangkali bisa kita khayalkan. Iya kita, untuk urusan berkhayal, aku mau ada kita; aku dan kamu.
“Aku masih bingung, Mas. Kasih aku waktu
lagi.” Pintanya dengan suara lirih.
“Hmmm, kemarin kan kamu yang minta waktu sehari, Ti.” Ujarku.
“Iya, aku tetep bingung, Mas.”
“Menangnya dia dari aku apa? Bagimana sifatku, keluar masuk keuanganku, bahkan
latar belakang keluargaku saja kamu sudah tau, Ti. Coba jelasin, kurangku di
mana? Apa aku nggak bisa buat kamu nyaman ya?”
Bertubi-tubi pertanyaan yang kuucapkan tak terdengar jawabannya. Masih sama, ekspresi yang dia tunjukan masih sama; diam. Ini apa dan berhenti bukan jawaban mau yang kuterima.
“Gini deh, besok kamu aku kenalin ke
keluargaku. Kalau kamu bisa yakin sama aku, bulan depan aku lamar kamu ya? Aku nggak
mau yakin sendirian, Ti. Ayolah.”
“Aku belum siap nikah dan aku masih punya pacar, Mas.” Jawabnya dengan nada tak
main-main.
“Ya kalo gitu kenapa kamu minta waktu untuk aku, Ti?”
Lagi-lagi tak kutemukan jawaban itu. Ini diam kesekian kali yang aku tak bisa lagi memaknai. Aku bingung dan menebak pun bukan pilihan untuk dihitung. Percaya diriku seketika mulai menduga-duga. Apa aku masuk dalam pertimbanganmu ya? Apa aku sebegitu menggoyahkan perasaanmu terhadap pasanganmu ya? Sungguh aku tak berniat masuk dalam hubungan ini pun kamu tak pernah bercerita jika sudah ada orang lain. Jika pergi ditahan, seharusnya aku sudah mendapat jawaban. Aku hanya lelaki biasa, ditantang seharusnya bukan sikap yang harus kuterima. Rasanya ingin kuperjuangkan kuat-kuat jika kamu mau. Ingin kuupayakan segalanya jika kamu mengizinkan, tapi kamu abu-abu.
Kamu abu-abu, samar, buram dan belum bisa menilai pasti; mau yang sebenarnya ingin dimengerti. Haruskah perlu kutanya lagi, “Apa kamu mau mempersilakan aku menjadi orang orang pertama yang kamu lihat setiap pagi?” Jawabanmu tak kubutuhkan sekarang, seminggu lagi mataku akan memaksamu untuk memberi penjelasan. Mungkin, ini memaksa. Memaksa bukan untuk menerima, tapi memaksa untuk sebuah kebenaran yang jelas warnanya. Seingatku kamu paham, ada sepertiga malam; bisa kamu ketuk meski situasi paling runyam. Jika memang bukan aku, setidaknya kejelasan sumbernya dari kamu; dan Tuhan turut membantu.
Meja kerja baru, 28 Maret pukul tujuh.
Si Paling Menunggu.
Komentar
Posting Komentar