“Kita tidak pernah saling
menemukan.” Gumamku seusai mendengar suaramu melalui pesan singkat.
Barangkali kita memang hanya
sepakat bahwa menjalani hari bukan untuk membersamai, tetapi untuk mengisi;
mendengarkan cerita, berkabar dengan sedikit jeda dan mengkhawatirkan satu
sama. Beberapa kali pernah terpikir bahwa sebagai laki-laki apa aku tidak
pantas untuk memiliki wanita yang saat bersamanya aku merasa cukup; kamu. Jangan
ditanya perihal harta, jelas belum ada apa-apanya. Pun jika berbicara tentang
muka, dengan tokoh politik favoritmu saja aku kalah. Tapi aku tak ingin menyerah,
pasti ada sedikit lebihku yang sebenarnya kamu suka kan?
Katamu kamu belum ingin
memiliki hubungan, kataku sepertinya memang bukan aku. Tak ada jawaban pembelaan
perihal itu. Tak pernah bisa memaksa orang lain, jika bukan aku yang kamu
ingin. Semua memang terlihat baik-baik saja, tak mau memperlihatkan bahwa aku
terluka. Ah, bodoh! Lukaku atas diriku sendiri, ekspetasiku yang menjadikan
semua lebur berserakan.
Kita tetap baik-baik saja
hingga kini, bedanya aku tak lagi ingin memintamu. Setiap pagi aku tetap menyapamu,
mengingatkan untuk memasukan sepotong roti ke perut sebelum beraktivitas dan
meminta pap yang selalu cantik meski tanpa riasan.
“Aku
diterima kerja di Yogya.” Ujarku sambil meneguk segelas cokelat hangat di coffeshop
favorit kita.
Pernyataanku
tak langsung mendapat jawaban. Ada binar lain di matanya. Sudah tak ada harapan;
pergiku apa ditahan?
“Nggak
cerita?”
“Bulan
lalu aku ngajak kamu ke luar mau bahas ini, tapi sibukmu tetap nomor satu.”
“Kamu
sengaja mau pergi dari aku?”
“Tetap
di kota ini apa nggak, kita nggak bisa sama-sama juga kan?”
Seminggu setelah itu,
jawaban yang kumau tetap tak landas ke telingaku. Sisa hal teringat, ada ciuman hangat mendarat yang belum sempat kubalas lalu aku dibiarkan berpikir sendirian. Masih sama, yang berbeda
hanya aku menata lagi hati dan rasa; agar bukan kamu lagi pemiliknya. Aku menyadarkan
diriku sendiri, bahwa kamu hanya minta ditemani; bukan bersamamu hidup kuarungi.
Sebulan, dua bulan, tiga
bulan dan ... tetap tak ada.
Bukan kamu, yang pantas mendapatkan
aku.
Bukan aku, yang akan bodoh
menemanimu.
Bukan kita, hasil akhir yang
disetujui semesta.
Komentar
Posting Komentar