Kami Bisa Berteman; dan Berapa Banyak yang Meragukan?

 

Aku selalu tertawa setiap mengingat awal mula kita.

Aku selalu bertanya, bagaimana bisa kita berdamai dan menerima.

Aku selalu bahagia, dengan proses yang satu-satu melewati kita.

 

Malam ini aku sedang mengerjakan pekerjaan yang lumayan dikejar waktu. Ujung mataku melirik gawai, foto layar berubah menjadi panggilan. Tidak asing, aku mengenalnya; sangat mengenalnya. Namanya Gara, pemilik tatapan candu; yang setahun lalu meruntuhkan kepalaku. Iya, dia dulu adalah pasanganku.

Sesosok pria Jawa manis yang setiap malam menemaniku via suara untuk mengerjakan pekerjaan yang harus aku kerjakan di rumah. Pria dengan gengsi tak bisa nomor dua. Pria yang semuanya bisa aku terima. Rasanya tidak ingin meminta yang lain; yang ini sudah lebih cukup dari ingin. Meskipun kami jarang bertemu, tapi kekuatan itu bernama rindu. Aku sama sekali tidak pernah mempermasalahkan perihal jarak, waktu dan semua rutinitas yang tidak menentu. Jika kalian pernah berpikir bahwa kalian akan bertemu dengan satu sosok yang membuat kalian merasa cukup, Gara adalah orangnya.  

Semua terasa baik-baik saja sampai pada suatu malam aku tak menjumpai kabarnya. Bukan hanya suaranya, pesanku pun tak ada jawaban meski hanya satu kata. Ratusan panggilan dia terima, tanpa ada jawabnya. Khawatir, isi kepala mulai berpikir. Satu hari, dua hari dan tujuh hari berlalu. Kabar yang biasa aku dengar, tak lagi ada. Bahkan kami tidak sedang bertengkar. Terakhir kali aku berpesan bahwa di kantorku hujan dan aku menunggu reda untuk pulang. Tak ada yang bisa aku lakukan. Menemui ke kotanya pun banyak kendalan yang mengintai.

Sebulan berlalu, kuputuskan untuk ke kotanya. Bukan bukan semata untuk mencari; ada pekerjaan yang harus aku jumpai, di sana. Hari itu kukirim pesan entah keberapa—dan tak berharap dibalas—mengabari bahwa aku sedang di dekat kantornya.

“Aku di tempat makan dekat kantor. Sedang ada pekerjaan, jika mau silakan temui aku.”

Layar gawaiku berbunyi, suara itu terdengar lagi. Aku mematung, memastikan aku benar-benar mengenal itu. Tak sampai lima belas menit, mobil putih menghampiriku. Kubuka pintu dan kutemukan sosok yang sebulan ini hilang. Masih sehat; sangat sehat. Ya Tuhan, dia baik-baik saja dan aku hampir gila.

Tak ada percakapan berarti di malam itu, pun kejelasan yang kumau perihal akhir hubungan tidak aku dapatkan. Dia diam, banyak diam. Berulang gawainya berdering dan tak berani mengangkatnya di depanku. Dia bukan Gara yang aku kenal, dia berubah. Dia mengantarku pulang; ke kotaku. Dia mencium keningku, tanpa rasa bersalah.

Dua hari selepas malam itu, Gara menghilang lagi. Sayangnya aku sudah lelah jika harus mencari. Kubiarkan hubungan ini selesai dengan sendiri. Jika kemarin aku sempat menjadi gila, saat ini tak kubiarkan terjadi untuk kedua. Aku mulai bisa menerima, bahwa melepaskan tak perlu ada kata-kata.

 

Empat belas hari berlalu. Tanpa Gara, aku terbiasa. Siang itu, aku sedang menikmati secangkir coklat dengan membaca kabar hangat perpolitikan Indonesia. Tiba-tiba bilah pemberitahuan gawaiku berubah, ada pesan dari perempuan yang membuat darahku memuncah.

“Mba pacaran sama Gara dari kapan?” ucapku

“Dari Maret, ini siapanya Gara ya?”

Aku terdiam, mematung. Penerimaan yang sudah aku jalani berubah menjadi amarah menggebu hingga ingin memaki. Bulan Maret, Gara masih bersamaku. Masih bercerita, masih tertawa, masih menemami kerja dan masih merencakan liburan ke kota mana saja akhir tahun nanti. Semua runtuh, kecewaku datang bertubi-tubi; aku memeluk diriku sendiri. Tak ada penjelasan Gara tentang ini, semua tanpa pembelaan dan pengakuan sedikitpun.

Setahun berlalu.

Cerita itu kini sudah layu, bedanya tiga bulan lalu gara datang lagi; menjelaskan versi dia yang aku sudah tak peduli. Sayangnya aku tak bisa membencinya. Aku memaafkannya, tapi tidak untuk kembali menyusun cerita. Aku dan Gara berteman; kami berteman.

“Coba dong mau kenalin cowo siapa tahu cocok!” ujarku

“Loh Mas itu ke mana?”

“Ah, kalo sama kamu kan nggak mungkin?”

“Apa yang nggak mungkin?”

Barangkali ini akan terkesan klasik, tapi aku menganggapnya teman. Gara mengetahui aku dekat dengan siapa, aku pun sebaliknya. Aku mendukung semua rencana hidupnya;  tanpa aku di dalamnya.

 

Komentar